EKBIS.CO, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan, impor legal yang dikonsumsi masyarakat digerus dan dikalahkan oleh impor ilegal. Praktik predatory price atau menjual barang lebih murah dari harga pasar pun semakin marak beredar.
Ketua Umum Aprindo Roy Mande mengatakan, memasuki 2024, pelaku usaha khususnya ritel modern anggota Aprindo harus terpukul lagi. Itu setelah mengkaji ulang bersama para anggota ritel Indonesia atas sosialisasi yang diberikan terhadap revisi regulasi untuk Pengetatan peraturan Impor Produk Legal dan Pembatasan Quota Import Produk Legal yang mulai berlaku pada pertengahan Maret 2024 ini.
"Ini tentunya akan berdampak pada anjloknya produktivitas peritel akibat penurunan konsumsi masyarakat karena produk pilihan dan favoritnya tidak tersedia dan ditemukan di gerai ritel. Ada efek domino tergerusnya juga kontribusi perpajakan akibat penurunan penjualan atas berbagai macam barang yang di impor legal (pangan dan nonpangan) pada ritel modern," ujar dia dalam keterangan resmi, Jumat (19/1/2024).
Aprindo, sambungnya, sangat paham pemerintah ingin memajukan produk lokal yang sedang dan akan berkembang. Hanya saja impor produk legal yang telah berjalan selama ini menurutnya, sudah memenuhi segala aspek legal dan ketentuan yang berlaku, telah membayar tarif bea masuk dan perpajakan yang berlaku.
"Maka menurut pandangan kami perlu dijaga dan dipertahankan juga. Bukan diketatkan hingga tergerus dan langka" tegas Roy.
Realita yang terjadi, kata dia, justru Impor Produk ilegal yang dipastikan tidak memenuhi ketentuan Impor, tidak membayar bea masuk dan perpajakan yang berlaku atau disebut thrifting produk semakin semarak dijual. Bahkan tersedia di berbagai kota.
Jika pemerintah, sambungnya, memiliki itikad baik memajukan produk lokal, maka menurut Roy, langkah bijak pemerintah perlu memberikan dukungan Insentif. Sekaligus menjamin Akses pasar, Akses Permodalan dan Literasi yang berkelanjutan dan diberikan kepada produsen lokal dalam negeri serta para UMKM dengan peta jalan (roadmap) dan target jelas, terukur dapat tereksekusi secara baik, sehingga produk lokal Indonesia naik kelas.
"Jadi karena memiliki daya saing kuat dalam kompetisi yang semakin ketat. Bukan seperti sekarang produk lokal belum naik kelas secara signifikan malah Impor produk legal pun, juga dihambat dan diketatkan bahkan cenderung hendak dihilangkan oleh Pemerintah," kata Roy.
Adapun jenis Impor produk Ilegal bauk pangan maupun nonpangan yang semakin marak beredar dan dijual antara lain produk thrifting (produk bekas yang di impor dari berbagai negara). Kemudian produk yang kadaluarsa atau retur serta produk yang ber-label palsu atau tempelan (fake brand).
Jasa titip (jastip) pembelian produk impor dari luar negeri, sambung dia, sebenarnya termasuk kategori impor produk illegal (black market) juga karena masuk ke Indonesia seolah-olah membawa barang milik sendiri, sehingga terhindar dan tidak terkena bea masuk dan pajak yang berlaku.
"Saat ini sangat menjamur menjadi suatu profesi baru yang di nikmat oleh pelakunya karena sekaligus dapat berlenggang wisata ke luar negeri sambil meraup keuntungan pribadi yang ilegal," jelas Roy.