EKBIS.CO, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Ritel Modern Indonesia (Aprindo) angkat suara mengenai keluhan produsen beras yang sulit memasok beras premium ke ritel modern akibat harga eceran tertinggi (HET) yang tidak sesuai dengan biaya produksi.
Ketua Umum Aprindo Roy N Mandey mengatakan Aprindo telah menyuarakan adanya relaksasi atau penyesuaian HET sejumlah komoditi bahan pokok, termasuk beras.
"Kami peritel sebelumnya juga sudah memberikan pernyataan awal Februari untuk meminta relaksasi HET karena harga beras produsen swasta komersial naik akibat naiknya harga gabah dan hilangnya pupuk subsidi," ujar Roy saat dihubungi Republika di Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Roy mengatakan pemerintah, bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah merespons aspirasi Aprindo sejak tiga pekan lalu. Jokowi, ucap dia, telah menugaskan Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Bulog mengalokasikan beras SPHP medium ke ritel modern.
Roy menjelaskan terdapat dua jenis beras yang ada di ritel modern. Pertama, beras premium komersial swasta (nonBulog) yang dijual di atas HET oleh produsen dengan jumlah stok yang terbatas, serta beras medium SPHP atau Bulog yang telah dijamin ketersediaannya karena stoknya mencukupi.
"Info terakhir karena akhir Maret akan panen raya, beberapa daerah mulai panen lokal, maka harga gabah akan turun seharusnya beras normal kembali. Semestinya bila pasokan beras dari Bulog berjalan lancar, sesuai jaminan dari Bapanas dan Bulog, maka kelangkaan tidak terjadi," ucap Roy.
Sebelumnya, Aprindo mengingatkan pemerintah mencegah kelangkaan bahan pokok melalui relaksasi HET aturan mainnya dalam waktu tertentu atas komoditi bahan pokok seperti beras, gula, hingga minyak goreng. Roy menyebut bahan pokok tersebut berpotensi mengalami kenaikan harga pada Februari 2024.
"Ini bertujuan mencegah kekosongan atau kelangkaan di gerai ritel modern di Indonesia," sambung Roy.
Roy mengatakan kelangkaan akan menciptakan panic buying yang akan membuat orang berlomba membeli bahkan menyimpan bahan pokok karena khawatir barang akan habis dan situasi harga yang tidak stabil.
Roy menjelaskan relaksasi HET dan aturan main bertujuan agar peritel dapat membeli bahan pokok tersebut dari para produsen yang sudah menaikan harga beli (tebus) bahan pokok di atas HET selama sepekan terakhir ini sebesar 20-35 persen dari harga sebelumnya.
"Kami tidak dapat mengatur harga yang ditentukan produsen karena harga ditetapkan produsen sebagai sektor hulu yang selanjutnya mengalir kepada kami di sektor hilir melalui jaringan distribusi, untuk selanjutnya dibeli atau dibelanjakan oleh masyarakat pada gerai ritel modern," lanjut Roy.
Roy mengatakan saat ini, peritel mulai kesulitan mendapatkan suplai beras premium lokal dengan kemasan 5 Kg. Roy memperkirakan keterbatasan suplai masih akan terjadi lantaran masa panen yang baru akan mulai pada Maret dan belum masuk nya beras medium (SPHP) yang diimpor pemerintah.
"Situasi dan kondisi yang tidak seimbang antara supply dan demand inilah yang mengakibatkan kenaikan HET beras pada pasar ritel modern (toko swalayan) dan pasar rakyat (pasar tradisional)," lanjut Roy.
Roy mengatakan kenaikan harga ini dapat merambat ke berbagai komoditi bahan pokok dan penting lainnya. Pasalnya, peritel saat ini tengah melakukan pembelian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat jelang Ramadhan dan lebaran.
"Faktanya saat ini kami tidak ada pilihan dan harus membeli beras dengan Harga di atas HET. Bagaimana mungkin kami menjualnya dengan HET, siapa yang akan menanggung kerugiannya, kami tidak mungkin membeli mahal dan menjual rugi," ungkap Roy.
Aprindo, lanjut Roy, berharap sikap bijak pemerintah merelaksasi HET agar peritel dapat terus menyediakan kebutuhan pokok dan penting bagi masyarakat. Dengan begitu, hal ini akan menghindari kekosongan dan kelangkaan bahan pokok pada gerai ritel modern.
"Saran kami, prioritaskan koordinasi intensif pemerintah kepada para pelaku usaha dari sektor hulu hingga hilir dan menghadirkan segera kebijakan yang berorientasi urgent dan empati dengan mengedepankan solusi adaptif, relevan, serta win-win, bukan hanya normatif atau yang bersifat retorika," kata Roy.