EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tutuka Ariadji meminta kepada Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) untuk mengembangkan potensi sumber minyak di Lapangan Zulu.
"Volumenya bisa 800 juta–1 miliar (BOPD). Sumber daya itu bisa dikelola," ujar Tutuka di Kantor Kementerian ESDM.
Permintaan tersebut bertujuan untuk mendongkrak produksi minyak nasional guna merealisasikan target 1 juta barel minyak per hari (BOPD) pada 2030.
Pernyataan Tutuka terkait dengan kritik dari Anggota Komisi VII DPR RI Maman Abdurrahman kepada SKK Migas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang berlangsung di Senayan pada Rabu (13/3/2024).
Maman meminta SKK Migas untuk meninjau kembali target 1 juta barel minyak per hari pada 2030. Ketika menyampaikan kritik tersebut, Maman menilai pemerintah terlalu optimistis,.terlebih dengan capaian lifting minyak pada 2023 yang berada di bawah target.
Merespons hal tersebut, Tutuka mengatakan, Kementerian ESDM masih menaruh harapan target tersebut dapat terealisasi. "Kami menaruh harapan yang cukup besar di MNK (Migas Non Konvensional) dan EOR (Enhanced Oil Recovery)," ucap dia.
Apabila MNK dan EOR berhasil, ujar Tutuka melanjutkan, maka keduanya akan berkontribusi besar dalam memproduksi minyak.
Meskipun demikian, Tutuka tidak menampik kemungkinan mundurnya realisasi target 1 juta BOPD pada 2030 menjadi 2033, sebagaimana yang sempat dilontarkan oleh SKK Migas pada RDP tersebut. "Bisa saja (mundur). Itu mungkin rencananya masih di SKK Migas, ya, tapi kalau menurut kami bisa saja," kata Tutuka.
Sebelumnya, SKK Migas menyebut realisasi lifting minyak pada 2023 sebesar 605.500 barel minyak per hari (BOPD). Capaian tersebut di bawah target lifting minyak pada 2023 sesuai ditetapkan APBN 2023, yakni sebesar 660 ribu BOPD, dan di bawah target work program and budget (WP&B) yang ditetapkan, yakni sebesar 621 ribu BOPD.
Adapun sejumlah kendala yang dihadapi oleh SKK Migas. Yakni, kondisi cuaca yang ekstrem, safety stand down yang terjadi di seluruh wilayah Pertamina selama empat bulan yang mengakibatkan berkurangnya produksi sekitar 3.000 barrel oil per day (BOPD), pengeboran yang tidak mencapai target, ketersediaan rig, hingga tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan konservasi.