EKBIS.CO, JAKARTA -- Training director sekaligus pendiri Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu menyebut kasus kecelakaan di tol Jakarta-Cikampek merupakan pembelajaran bagi pengendara untuk tidak memilih lajur contraflow ketika mereka masih memiliki opsi lajur yang lain. Meski dapat mengurai kemacetan, contraflow sesungguhnya memiliki risiko kecelakaan yang lebih besar dari jalur normal.
Cara kerja contraflow yang menggunakan jalur lalu lintas pada arah yang berlawanan, dan hanya disertai pembatas yang tidak permanen, misalnya, dengan traffic cone (kerucut lalu lintas), tentu sangat berisiko tabrakan dari arah berlawanan.
"Ini seakan jalur yang mematikan, di sisi kiri ada tembok, sementara sisi kanannya ada kendaraan lain dari arus berlawanan. Sering ditemui ketika lengah sedikit saja, sangat mungkin untuk keluar jalur masuk ke lajur lawan, hingga terjadi tabrakan beruntun karena distraksi motorik," ujar Jusri.
Tidak hanya pengemudi, Jusri mengatakan penumpang juga harus mempersiapkan diri sebaik mungkin saat hendak melalui contraflow, misalnya, tidak sedang menahan buang air, hingga tidak mengganggu konsentrasi pemegang kemudi. Sebab, tidak ada lokasi pemberhentian atau peristirahatan pada lajur darurat tersebut.
Kecelakaan lalu lintas di jalur contraflow Km 58 Tol Jakarta-Cikampek melibatkan tiga kendaraan, yakni Bus Primajasa B-7655-TGD, serta Grand Max B-1635-BKT, dan Daihatsu Terios yang hangus terbakar. Selain dua orang mengalami luka, terdapat 12 orang lainnya meninggal dunia akibat kecelakaan tersebut, di antaranya tujuh laki-laki dan lima perempuan.