EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berupaya menciptakan iklim usaha kondusif bagi para produsen yang telah berinvestasi di Indonesia. Langkah ini diwujudkan dalam mengembangkan industri elektronika di Tanah Air agar bisa lebih berdaya saing melalui penerbitan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Produk Elektronik.
Direktur Industri Elektronika dan Telematika (IET) Kemenperin Priyadi Arie Nugroho menjelaskan, regulasi ini merupakan upaya konkret dari pemerintah dalam menciptakan kepastian berinvestasi bagi pelaku industri di Indonesia. Khususnya guna memproduksi produk elektronika di dalam negeri.
Dikatakan, pengaturan arus impor ini sebagai tindak lanjut dari arahan presiden atas kondisi neraca perdagangan produk elektronik pada 2023 yang masih menunjukkan defisit. Maka, berdasarkan pertimbangan usulan dan kemampuan industri dalam negeri, ditetapkan terdapat 139 pos tarif elektronik yang diatur dalam Permenperin 6/2024.
Ada rincian 78 pos tarif diterapkan Persetujuan Impor (PI) dan Laporan Surveyor (LS) serta 61 pos tarif lainnya diterapkan hanya dengan LS. “Beberapa produk yang termasuk ke dalam 78 pos tarif tersebut di antaranya adalah AC, televisi, mesin cuci, kulkas, kabel fiber optik, kulkas, laptop dan beberapa produk elektronik lainnya,” ujar Priyadi dalam keterangan resmi, Senin (8/4/2024).
Kementerian, kata dia, memahami tata niaga impor bagi produk elektronika merupakan hal yang baru dan belum pernah diberlakukan. Jadi perlu diketahui dan ditekankan bersama, dengan terbitnya kebijakan tata niaga impor produk elektronika ini, bukan berarti pemerintah antiimpor, namun lebih kepada menjaga iklim usaha industri di dalam negeri tetap kondusif terutama bagi beragam produk yang telah diproduksi di dalam negeri.
Merujuk Permenperin 6/2024, dari pemberlakuan tata niaga impor ini, diharapkan bagi produsen dalam negeri dapat menangkap peluang permintaan produk elektronika sehingga semakin meningkatkan kapasitas dan mendiversifikasi jenis produknya. Sedangkan, bagi Electronic Manufacturing Service (EMS) atau Original Equipment Manufacturer (OEM), menjadikan peluang kerja sama dengan pemegang merek internasional yang belum memiliki lini produksi di dalam negeri.
“Sementara bagi importir, adanya kepastian pendistribusian dan atau penjualan barang impor di dalam negeri,” jelas dia. Dirinya mencontohkan, berdasarkan data SIINas pada 2023, kapasitas produksi untuk produk AC sebesar 2,7 juta unit dan realisasi produksi sekitar 1,2 juta unit, artinya utilisasi produksinya hanya 43 persen.
Sementara sangat disayangkan, berdasarkan data Laporan Surveyor impor produk AC pada 2023 menembus angka 3,8 juta unit. Oleh karena itu, diharapkan pengaturan impor ini dapat meningkatkan utilisasi produksi AC di dalam negeri.