Senin 22 Apr 2024 18:32 WIB

Pungutan Iuran Pariwisata di Tiket Pesawat, Pengamat Beri Peringatan

Iuran itu tidak jelas peruntukkannya dan akan membuat tiket pesawat seolah naik.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Fuji Pratiwi
Calon penumpang pesawat antre untuk lapor diri di konter pelaporan Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (8/2/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Calon penumpang pesawat antre untuk lapor diri di konter pelaporan Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (8/2/2024).

EKBIS.CO, JAKARTA--Pengamat Penerbangan Alvin Lie menentang rencana pemerintah yang akan menarik iuran pariwisata melalui tiket pesawat. Alvin menegaskan tidak semua penumpang pesawat adalah pelaku wisata, sehingga tidak bisa dibebankan iuran pariwisata.

"Kenapa dibebankan pada pengguna jasa penerbangan? Orang terbang itu kebutuhannya macam-macam, ada yang melayat, kondangan dan sebagian besar sekitar 70 persen lebih itu hanya urusan dinas, urusan bisnis, rapat kerja dan sebagainya," ujar Alvin dalam keterangannya, Senin (22/4/2024).

Baca Juga

Dalam survei yang dilakukan timnya pada Januari 2024 lalu di lima bandara besar di Indonesia, yakni Soekarno Hatta, Kualanamu, Juanda, I Gusti Ngurah Rai dan Sultan Hasanuddin, hanya 12,1 persen yang tujuannya berwisata atau liburan. Dari 7.414 responden pemegang boarding pass yang diwawancarai secara langsung, mayoritas justru tujuannya perjalanan dinas, bisnis dan urusan lainnya.

"Jadi yang diajak bicara ini adalah orang yang sudah pegang boarding pass, bukan sembarangan orang, kemudian jumlah responden 7.414 orang, pengguna jasa penerbangan yang tujuannya murni untuk wisata atau liburan itu hanya 12,1 persen, lantas kok mau dibebani macam-macam, biaya ini untuk apa?" ujarnya.

Menurut Alvin Lim, rencana pungutan iuran pariwisata ini patut dipertanyakan. Ia juga heran mengapa iuran dibebankan pada pada tiket pesawat dan hanya angkutan udara. "Yang pasti berwisata itu kan orang yang tinggal di hotel misalnya atau di objek-objek wisata," kata dia.

Ia melanjutkan, alih-alih membebankan iuran itu ke penumpang pesawat, pemerintah sebaiknya langsung memungut ke pelaku wisata. Hal ini agar lebih jelas peruntukannya. Misalnya seperti visa on arrival.

"Jangan dibebankan pada tiket karena dampaknya adalah seolah-olah harga tiket naik. Padahal harga tiketnya tidak naik, yang naik itu tetek bengeknya, yang diselipkan. Nanti yang kena beban lagi adalah maskapai penerbangan, padahal uangnya tidak masuk ke maskapai penerbangan," kata Alvin menjelaskan.

Selain itu, kata Alvin, pungutan iuran pariwisata melalui tiket pesawat ini juga melanggar kesepakatan internasional terkait penerbangan. Menurutnya, terdapat kesepakatan maskapai-maskapai penerbangan internasional dalam jika harga tiket tidak boleh dibebani selain tiga hal. Yakni pajak yang berlaku di negara tersebut, airport tax, dan surcharge atau biaya tambahan saat peak season maupun kenaikan harga bahan bakar.

"Saya menilai rencana pemungutan iuran pariwisata melalui tiket itu, tidak etis. Pemerintah mau uangnya tapi tidak mau kelihatan bahwa mereka yang memungut, seolah-olah harga tiket naik, dan itu tidak sesuai dengan kesepakatan internasional," ujarnya.

Jika sampai diterapkan, Alvin juga mempertanyakan pertanggungjawaban dana yang terkumpul tersebut, mulai pengawasan hingga penggunaannya. Karena dana masyarakat, maka tidak bisa sembarangan.

"Seperti dana zakat saja, kan ada badannya, lalu ini siapa? Ini kok enak banget mau memungut dana dari masyarakat enggak jelas peruntukannya apa dan bagaimana penggunaannya," ujarnya.

Sebelumnya akun media sosial X pribadinya @alvienlie21, Alvin membeberkan rencana penarikan iuran pariwisata yang akan dibahas dalam Rapat Koordinasi Pembahasan Rancangan Peraturan Presiden Dana Pariwisata Berkelanjutan dengan agenda Pengenaan Iuran Pariwisata Melalui Tiket Penerbangan. Nantinya, aturan itu akan dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Dana Pariwisata Berkelanjutan.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement