Senin 27 May 2024 20:46 WIB

Ekonom Indef-Paramadina: Awas Ekonomi RI Kena Imbas Triple Horror

Perlambatan ekonomi masih akan terjadi sampai tahun depan.

Red: Stevy maradona
Petugas menghitung uang dolar AS. Ilustrasi
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Petugas menghitung uang dolar AS. Ilustrasi

EKBIS.CO,  JAKARTA – Sejumlah ekonom Universitas Paramadina dan Indef memberikan ‘warning’ ke pemerintah terkait situasi perekonomian nasional saat ini. Sejumlah indikator ekonomi global maupun lokal yang diperhatikan ekonom memperlihatkan Indonesia akan menghadapi tantangan berat dalam dua tahun ini.

Hal ini dipaparkan dalam Diskusi Indef dan Universitas Paramadina bertajuk 'Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Ekonomi?'. Diskusi berlangsung secara daring pada Senin (27/6/2024) dan dibuka oleh Rektor Universitas Paramadina Prof Dr Didik J Rachbini.

Kepala Centre of Digital Economy and SME’s Indef Eisha Maghfiruha Rachbini menegaskan ekonomi global saat ini memang tidak sedang baik-baik saja. Perlambatan ekonomi dan stagnasi global akan terjadi sampai dengan tahun depan. Ini akan memengaruhi prospek suku bunga dalam negeri. 

“Menahan suku bunga global pada level tinggi, sehingga mendorong capital outflow negara berkembang dan dampak ini juga dirasakan oleh Indonesia, yaitu tekanan nilai tukar rupiah yang sampai Rp16 ribu,” kata dia dalam rilis yang diterima pers Senin malam. Situasi ini, ia prediksi, akan terus terjadi. Tidak hanya di Indonesia tapi juga di negara berkembang lainnya yang tertekan akibat penguatan dolar AS. 

Ekonom Universitas Paramadina, Handi Risza, menambahkan dunia sedang dihantui dengan tiga permasalahan utama (triple horror), inflasi tinggi, tingkat suku bunga tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Diperkirakan kondisi tersebut akan berlangsung lama, imbasnya akan berdampak terhadap negara-negara berkembang termasuk Indonesia. “Perekonomian nasional diprediksi juga mengalami perlambatan,” kata dia.

Di dalam negeri sendiri, Handi melihat sudah terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi. Di mana rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,9 persen. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut, ia menilai, sulit bagi Indonesia untuk dapat naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi atau mengejar ketertinggalan pendapatan per kapita dari negara maju.

Apalagi, lanjut dia, perekonomian domestik  masih ditopang oleh sumber tradisional yaitu konsumsi. Untungnya dalam beberapa tahun terakhir terbantu dengan adanya windfall dari harga komoditas. Tahun ini diperkirakan harga komoditas mulai kembali normal. Sehingga bisa menggerus potensi laba dari harga komoditas.

Pengajar ekonomi Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan dengan situasi ekonomi tersebut maka pemerintah yang baru perlu melakukan rasionalisasi atau modifikasi program, baik itu yang warisan maupun yang merupakan janji kampanye. Modifikasi program itu mencakup program seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), kelanjutan proyek kereta cepat Indonesia Cina, bantuan sosial ke masyarakat, dan porsi utang surat berharga negara. 

Pemerintahan yang baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto dan wapres terpilih Gibran Rakabuming, diharapkan bisa menjaga konsistensi kebijakan dan perkuat penegakan hukum. “Reindustrialisasi dengan mendorong hilirisasi berkualitas di berbagai sektor,” kata Wijayanto. Termasuk juga terus menurunkan biaya logistik dengan perbaikan regulasi dan pemantapan infrastruktur.

Menyinggung pajak, Wijayanto setuju meningkatkan penerimaan pajak melalui perbaikan institusi. Termasuk misalnya mengubah model ditjen pajak menjadi badan penerimaan. Kemudian memperbesar sektor manufaktur.

 

 

sumber : Rilis
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement