EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia menjelaskan seputar isu yang sedang dalam sorotan. Ini mengenai keputusan Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021.
Aturan mengenai pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara yang ditetapkan pada 30 Mei 2024. Terdapat ketentuan yang membuka peluang bagi organisasi masyarakat (ormas) keagamaan mengelola bisnis tambang. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) melalui penawaran secara prioritas, diberikan kepada Badan Usaha yang dimiliki ormas keagamaan.
"Dalam sepekan terakhir, ramai diperbincangkan (isu ini) baik di dalam pemberitaan maupun di media sosial. Khususnya terkait IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) dan dilanjutkan dengan IUP (Izin Usaha Pertambangan) kepada ormaas-ormas keagamaan yang mempunyai badan usaha," kata Bahlil dalam konferensi pers, di kantornya, Jumat (7/6/2024).
Ia menjelaskan latar belakang lahirnya PP tersebut. Ia kembali pada faktor sejarah. Dalam usaha memperjungkan kemerdekaan, hampir semua elemen terlibat, khususnya ormas-ormas keagamaan itu.
Bahlil menyinggung nama ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, juga berbagai kelompok-kelompok dari agama lain. Menurutnya, kontribusi ormas-ormas tersebut tak dapat dibantah.Begitu juga ketika mempertahankan kemerdekaan.
Lalu beberapa kali sempat terjadi konlik di daerah, bencana. Ormas-ormas keagamaan terlibat dalam menemukan solusi konkret. Dari perspektif tersebut, lanjut Bahlil, kembali ke pasal 33 UUD 1945.
"Kami berpandangan ormas keagamaan, bagian dari aset negaraa, dan mereka mengurus umat. Tapi yang terjadi, dalam mengimplementasikan penyelenggaraan negara, rasanya kita belum memaksimalkan potensi-potensi perhatian, dari sumber daya alam yang ada di negara, terutama pada sektor pertambangan," ujar tokoh kelahiran Maluku ini.
Kemudian ormas juga dinilai berperan penting membangun sumber daya manusia. Baik itu lewat pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Sehingga munculah konsep lewat aturan terbaru tersebut.
"Pandangan Presiden, IUP ini jangan hanya dikuasai perusahaan-perusahaan gede, investor-investor besar. Dalam perjalanan ke daerah, Presiden menerima aspirasi tentang ormas keagamaan tidak hanya sebagai obyek tapi juga subyek," tutur Bahlil.
Dari semua dinamika ini, pemerintah, kata Bahlil mencoba mencari jalan sesuai aturan. Di dalam UU nomor 3 tahun 2020 revisi terhadap UU nomor 4 tahun 2009, tentang Minerba, dinyatakan, di pasal 6 ayat (1) huruf J, bahwa pemerintah berhak memberikan prioritas kepada IUPK.
"Atas dasar itu PP kita lakukan perubahan, di mana PP ini mengakomodir pemberian IUPK kepada ormas keagamaan yang mempunyai badan usaha. Agar mereka mempunyai hak. Emang saat negara sebelum merdeka, mengalami bencana, investor, pengusaha yang ngurus rakyat? Kan ormas," ujar Bahlil.
Ia menegaskan, pembuatan PP tersebut sudah melalui kajian akademis. Kemudian diskusi mendalam antar Kementerian/Lembaga. Lalu dibawa ke rapat terbatas (Ratas). Ratas tersebut dipimpin langsung oleh Presiden. Beberapa menteri terkait hadir. Itu menjadi forum pengambilan keputusan yang berlandaskan hukum.
Bahlil menegaskan, hasil ratas memberi solusi dari sebuah isu. Semacam pintu keluar. Lalu segala sesuatu diatur secara jelas, resmi dan berkekuatan hukum.
"PP ini sudah diparaf oleh seluruh kementerian teknis, termasuk ESDM, yang juga sudah diverifikasi landasan-landasannya oleh Kemenkumham, dan juga telah mendapat persetujuan dari jaksa agung," ujar pejabat negara berusia 47 tahun ini.
Pada intinya, menurut Bahlil, ini merupakan arahan Presiden agar terjadi redistribusi pengelolaan sumber daya alam yang inklusif dan berkeadilan. Dalam konteks tersebut, yakni pemberian IUP kepada ormas keagamaan. Sehingga bisnis tambang tidak hanya dikuasai kelompok-kelompok tertentu.
Bahlil memahami muncul banyak pro dan kontra. Ia sendiri sering mendapat kritik dalam beberapa tahun terakhir ketika IUP hanya dipakai pengusaha nasional apalagi asing. Sekarang, ormas diberikan peran untuk mengelola. Di lapangan nanti, ketika IUP diberikan ke ormas keagamaan, lalu dicarikan partner.
Ia mencontohkan perusahaan seperti Freeport saja membutuhkan kontraktor. Tapi yang terpenting, IUP tidak dapat dipindahtangankan dalam bentuk apa pun. Hasilnya harus untuk membantu ormas-ormas tersebut menjalankan program-program keumatan baik di pendidikan, kesehatan, juga sosial.