EKBIS.CO, JAKARTA -- Hingga Mei 2024, pencapaian penerimaan pajak mencapai Rp 760,38 triliun. Artinya, 38,23 persen dari target APBN 2024 sudah pemerintah kumpulkan.
"Angka ini kalau kita lihat dekomposisinya untuk PPh Non Migas mengalami kontraksi 5,4 persen Rp 443,73 triliun, untuk PPN dan PPnBM Rp 282,34 triliun masih mengalami kenaikan 5,72 persen, untuk PPh Migas mengalami penurunan 38,38 persen atau Rp 29,31 triliun," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa Edisi Juni 2024, Kamis (27/6/2024).
Ia melanjutkan, untuk PPN Non Migas terjadi kontraksi 5,41 persen karena adanya pelemahan harga komoditas yang menyebabkan perusahaan-perusahaan yang berada di sektor pertambangan mengalami penurunan keuntungan mereka dibanding tahun 2023. Ia menambahkan, meskipun perusahaan masih untung tapi keuntungannya menurun. "Oleh karena itu pembayaran pajaknya mengalami penurunan," katanya.
Sementara PBB dan pajak lainnya menurun disebabkan karena tidak terjadi kembali pembayaran tagihan pada tahun 2023. Untuk PPh Migas kontraksi karena penurunan lifting migas. Menurut Sri Mulyani hal ini harus diperhatikan karena terjadi di tengah harga minyak yang cukup stabil dan dari siklus memberikan pendapatan lebih dalam rupiah.
Sri Mulyani juga mengimbau untuk mewaspadai pergerakan pasar keuangan domestik karena volatilitas politik global. Pasalnya, hingga kini kondisi ekonomi global masih dibayangi dengan ketidakpastian lantaran eskalasi konflik dan friksi antar negara yang menunjukkan tren peningkatan.
"Lingkungan ekonomi global dan nasional yang memengaruhi kinerja dan membuat APBN bekerja keras untuk terus menjalankan fungsi alokasi, stabilisasi, dan distribusi untuk menjaga masyarakat dan perekonomian kita," ujar Sri Mulyani.
Adapun, pergerakan nilai tukar rupiah mencapai Rp 16.431 pada Mei 2024 dan bahkan mengalami peningkatan baik karena sentimen di dalam negeri maupun global. Selain itu, suku bunga Federal Reserve juga belum mengalami penurunan 4 hingga 5 kali seperti yang diharapkan market.
"Ini yang menyebabkan ekspektasi market yang kecewa atau yang tidak tersampaikan kemudian menimbulkan suatu reaksi, terutama terlihat pada April lalu hingga Mei, kalau Mei ditambah faktor domestik kita kemudian menyebabkan penguatan dolar indeks yang kemudian menyebabkan depresiasi dari mata uang termasuk rupiah kita," jelas Sri Mulyani.