Selasa 09 Jul 2024 04:22 WIB

Inaplas: Pemerintah Harus Pahami Tantangan Industri Petrokimia

Regulasi yang tidak probisnis mengurangi minat investasi petrokimia

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Forum Group Discussion (FGD) bertema Permendag No 8 Tahun 2024, Wujud Nyata Denormalisasi Industri Petrokimia Nasional, Senin (8/7/2024).
Foto: dok Ichsan Emrald Alamsyah/Republika
Forum Group Discussion (FGD) bertema Permendag No 8 Tahun 2024, Wujud Nyata Denormalisasi Industri Petrokimia Nasional, Senin (8/7/2024).

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Asosiasi Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengungkapkan perlunya pemahaman mendalam dari pemerintah mengenai tantangan yang dihadapi oleh industri petrokimia. Industri ini merupakan sektor prioritas yang memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional.

“Mengingat industri petrokimia tergolong berskala besar dan menyangkut hajat hidup orang banyak, pemerintah harus membuat kebijakan holistik yang dapat membantu tumbuh kembangnya industri ini, mulai dari hulu hingga hilir,” ujar Fajar pada diskusi dengan Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Senin (8/7).

Namun, suplai bahan baku dan barang jadi plastik saat ini didominasi oleh produk impor dari China. “China sangat agresif dalam membangun fasilitas produksi petrokimia selama pandemi Covid-19, tetapi kelebihan pasokan terjadi karena permintaan domestik tidak cukup tinggi,” jelasnya.

China juga menghadapi kesulitan ekspor ke pasar utama seperti Amerika Serikat akibat sanksi perang dagang, sehingga mereka mengalihkan ekspor ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. “Bahan baku dan barang jadi plastik asal China mudah masuk karena insentif dari pemerintah setempat,” tambah Fajar.

Produk impor semakin sulit dibendung setelah pemerintah merelaksasi kebijakan importasi melalui Permendag Nomor 8 Tahun 2024. “Produsen plastik lokal kesulitan bersaing, sehingga tingkat utilisasi produsen lokal terus menyusut hingga mencapai 50 persen saat ini,” tutur Fajar. Jika terus berlanjut, pabrik-pabrik produksi plastik lokal akan banyak yang tutup, merugikan industri lain seperti makanan-minuman, peralatan rumah tangga, dan otomotif.

Fajar menekankan perlunya pemerintah memperbaiki peraturan importasi yang ada. "Permendag No 36 Tahun 2023 harus diterapkan kembali untuk membatasi produk impor plastik dari China," tegasnya. Inaplas juga mengajukan instrumen perlindungan seperti Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindak Pengamanan (BMTP) untuk bahan baku plastik.

Plt. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Reni Yanita, mengungkapkan bahwa regulasi yang tidak probisnis mengurangi minat investasi. “Permendag Nomor 8 Tahun 2024 merelaksasi impor barang-barang dari luar negeri yang sejenis dengan produk dalam negeri, sehingga menurunkan minat investasi,” jelas Reni.

Pada tahun 2023, total impor produk petrokimia mencapai 8,5 juta ton, naik dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 7,75 juta ton. Kemenperin fokus menjalankan kebijakan substitusi impor dan meningkatkan investasi di industri petrokimia agar terintegrasi dari hulu hingga hilir.

Kemenperin memprediksi total investasi di sektor kimia hingga tahun 2030 akan mencapai 31,415 miliar dolar AS. Investor termasuk PT. Chandra Asri Perkasa, PT. Lotte Chemical Indonesia, dan PT. Sulfindo Adiusaha.

Sementara itu, Peneliti INDEF, Ahmad Heri Firdaus, menilai Permendag 8/2024 berimplikasi pada banjirnya produk petrokimia impor. “Apabila impor produk hilir petrokimia tinggi, maka industri hulunya akan sulit bersaing,” tuturnya. PPN bahan baku petrokimia yang naik dari 11 persen menjadi 12 persen juga meningkatkan biaya modal.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement