Pada 2023 lalu, ekspor hasil pertanian Indonesia tercatat 6,5 miliar dolar AS sedangkan nilai impornya mencapai 11,59 miliar dolar AS sehingga defisit impor hasil pertanian mencapai 5,0 miliar dolar AS.
“Kita perlu program kemandirian pangan yang lebih fokus, yakni mendorong pangan pokok agar tidak bertumpu pada beras, sebab kita memiliki keanekaragaman pangan pokok yang beragam umbi, sagu, dan sorgum,” jelasnya.
Kedua, program kemandirian energi. Said menjelaskan, sejak konversi program minyak tanah ke LPG, kebutuhan impor LPG terus meningkat. Dalam jangka pendek, transformasi energi yang bersandar ke minyak bumi termasuk LPG harus di geser ke listrik, sebab kita memiliki produksi listrik yang besar, dan di topang oleh suplai batubara yang memadai.
Namun kebijakan energi tidak boleh terhenti di listrik, sebab transformasi pembangkit listrik PLN tidak boleh hanya bertumpu pada PLTU.
“Oleh sebab itu, bauran kebijakan energi baru dan terbarukan ke depan harus lebih progresif. Pada tahun 2015 bauran energi terbarukan masih 4,9 persen, pada 2022 bauran energi terbarukan mencapai 12,3 persen, meskipun tumbuh baik, namun butuh lompatan yang lebih besar, karena itu dibutuhkan kebijakan afirmasi,” jelasnya.
Ketiga, peningkatan sumber daya manusia (SDM). Tenaga kerja di Indonesia yang bekerja saat ini berjumlah 142,1 juta, namun 54,6 persen di antaranya lulusan SMP ke bawah.
BACA JUGA: Wakil Aceh di Paskibraka Nasional 'Dipaksa' Lepas Jilbab?
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja kita terserap di sektor informal. Dengan demikian, kita belum mendapatkan manfaat maksimal dari bonus demografi.
Kemudian keempat, infrastruktur. Said melanjutkan, kebijakan fiskal harus mendorong penguatan program infrastruktur, terutama infrastruktur yang menopang ketiga program sebelumnya.
“Dengan demikian belanja infrastruktur bisa lebih fokus, apalagi kita tidak memiliki ruang fiskal yang longgar karena tergerus berbagai kewajiban mandatori, subsidi, dan kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang,” ucap Said.