EKBIS.CO, SEMARANG -- Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah (Jateng) mengungkapkan, sepanjang 2024, terdapat 9.133 orang yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Angka tersebut dirilis setelah Komisi IX DPR RI menyebut angka PHK di Jateng pada periode Januari-Agustus 2024 merupakan yang tertinggi dibandingkan provinsi-provinsi lain di Indonesia, yakni mencapai 13.700.
Kepala Disnakertrans Jateng Ahmad Aziz mengatakan, angka PHK sebanyak 9.133 diperoleh dari aplikasi SIGAP PHI. Aplikasi tersebut menginformasikan kasus PHK di 35 kabupaten/kota di Jateng, termasuk yang masih dalam proses mediasi.
Ahmad mengungkapkan, berdasarkan data di aplikasi SIGAP PHI, sejak Januari hingga Agustus 2024, sebanyak 6.844 pekerja di Jateng terkonfirmasi terkena PHK. Sementara itu terdapat 2.289 lainnya yang dirumahkan. Dengan demikian totalnya mencapai 9.133 orang.
"Kunjungan DPR RI Komisi IX (membahas) terkait banyaknya PHK, ada info Jateng terbanyak dibanding provinsi lain. Akhirnya ini bisa mengklarifikasi, mengonfirmasi, bahwa jateng tak sebanyak yang diberitakan," ujar Ahmad dalam keterangan, Jumat (6/9/2024).
Dia mengungkapkan kasus PHK di Jateng terjadi terutama di sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Mereka di antaranya situasi geopolitik terkait perang Rusia-Ukraina, resesi ekonomi negara tujuan ekspor, kenaikan harga barang baku, penurunan order, hingga membanjirnya produk impor TPT.
Aziz memastikan, upaya mitigasi telah dilakukan, terutama penyelesaian terkait pesangon dan hak jaminan sosial pekerja. Menurutnya, PHK adalah hal terakhir yang dapat ditempuh, karena masih bisa dilakukan mediasi hingga persetujuan bersama.
Sebelumnya Komisi IX DPR RI mengatakan, Provinsi Jateng menyumbang angka PHK terbesar dibandingkan provinsi-provinsi lain di Indonesia sepanjang Januari-Agustus 2024. Hal itu diungkap anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, saat menggelar pertemuan dengan Disnakertrans Jateng di Semarang, Kamis (5/9/2024).
Edy menilai, banyaknya kasus PHK di Jateng dikarenakan sebagian besar industri bergerak di sektor manufaktur. Menurutnya, sektor tersebut menjadi yang paling terdampak situasi global. Sebab banyak pelaku industri tekstil, garmen, dan alas kaki yang kesulitan bersaing.
"Karena situasi ekonomi dalam negeri yang sulit, kondisi global geopolitiknya yang susah, permintaan ekspor yang turun, sehingga membuat perusahaan-perusahaan ini menjadi terpuruk dan banyak terjadi PHK," kata Edy.
Dia kemudian mendorong Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng untuk memperhatikan nasib tenaga kerja yang terkena PHK. "13.700 (pekerja di Jateng yang di-PHK) harus dijamin haknya. Perusahaan tidak boleh mengingkari pesangon, jaminan sosial dan jaminan kehilangan pekerjaan. Sebab dari angka itu hanya 9.700 yang memperoleh JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan)," ucapnya.
Terkait perbedaan data jumlah PHK di Jateng, Edy menyebut hal itu harus didalami lebih lanjut. "Data dari Kemenaker RI (13.700 pekerja di Jateng yang di-PHK) kan data umum. Kalau data dari dinas 9.700 itu data fluktuasi riil. Perbedaan data harus diklarifikasi, tadi data dari (serikat) buruh juga 9.700 (pekerja), tentu masing masing pihak harus telusur ulang, mungkin ada yang tak terdata atau tidak lapor," kata Edy.