Selasa 10 Sep 2024 00:15 WIB

Waspadai Gig Economy, Biang Kerok Turunnya Kasta Kelas Menengah

Nihilnya lowongan pekerjaan formal memaksa masyarakat terperangkap dalam ekonomi gig.

Rep: Eva Rianti/ Red: Lida Puspaningtyas
Pengemudi ojek online (ojol) dan taksi online melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (25/6/2024). Mereka menolak kebijakan tarif murah dan meminta agar pemerintah mendorong perusahaan aplikasi menaikkan tarif bagi ojol.
Foto: Republika/M Fauzi Ridwan
Pengemudi ojek online (ojol) dan taksi online melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (25/6/2024). Mereka menolak kebijakan tarif murah dan meminta agar pemerintah mendorong perusahaan aplikasi menaikkan tarif bagi ojol.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Dosen School of Business and Management Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) Muhammad Yorga Permana mengungkapkan fenomena gig economy atau ekonomi gig dalam membahas tentang masalah penurunan kelas menengah yang belakangan menghangat. Yorga mengidentifikasi kondisi menurunnya kelas menengah sudah terjadi beberapa tahun sebelum pandemi, seiring dengan terjadinya ekonomi gig.

Yorga mengatakan, ia mendalami persoalan gig economy di Indonesia dengan para driver ojol sebagai objek penelitiannya. Berdasarkan hasil penelitiannya, ia merefleksikan, banyaknya pekerja di ekonomi gig di Indonesia ditopang oleh driver ojol, sejalan dengan ketiadaan pekerjaan yang layak di sektor formal. Hal itu diindikasi berkaitan dengan turunnya kelas menengah pada saat ini.

Baca Juga

“Saya sepakat bahwa Covid-19 memang merupakan pendorong (turunnya kelas menengah), tapi sejak beberapa tahun sebelumnya saya mengindikasikan dari 2014 ada tanda-tanda ke arah menurunnya kelas menengah dan krisis kerja layak di Indonesia,” kata Yorga dalam diskusi Indef bertajuk ‘Kelas Menengah Turun Kelas’ yang digelar secara daring, Senin (9/9/2024).

Berdasarkan analisis dalam penelitian yang dilakukannya, nihilnya lowongan pekerjaan formal memaksa masyarakat pada akhirnya memilih menjadi diantaranya sebagai driver ojol. Dengan kata lain terperangkap di ekonomi gig.

“Para driver ojol sebenarnya ingin kerja di sektor formal, tapi enggak bisa. 60 persen dari mereka ingin bekerja sebagai pegawai atau buruh, tapi mereka tetap bekerja di gig karena tidak ada pilihan lain,” ungkapnya.

Yorga menerangkan bahwa kondisi itu menjadi sebuah ancaman. Sebab para pekerja di ekonomi gig berada dalam kondisi rentan, dengan tidak adanya upah bulanan dan tidak ada stabilitas pendapat.

“Sehingga mereka masuk kelompok rentan, dan maksimal di aspiring middle class (kelompok menuju kelas menengah),” kata dia. Artinya, mereka sulit untuk bisa mencapai kasta sebagai kelas menengah.

Lebih lanjut, Yorga menjelaskan, ekonomi gig adalah fenomena urban. Sebanyak 25 persen pekerja ojol dan kurir di Indonesia terkonsentrasi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), dimana 40 persen ada di Pulau Jawa.

“Bahkan jika nge-zoom, karena fokus studi saya di Jakarta selama 10 tahun terakhir sebelum pandemi, pekerjaan baru di DKI ditopang driver ojol. Secara agregat tidak ada pekerjaan baru di sektor formal, tapi peningkatan pekerjaan di sektor transportasi logistik, self employment yang menggunakan internet jadi proksi pekerja di transportasi itu meningkat pesat,” terangnya.

photo
Kelas menengah tergerus, ekonomi terancam - (Dok Republika)

Krisis Lapangan Kerja Layak....(baca di halaman selanjutnya)

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement