EKBIS.CO, JAKARTA -- Satu tahun sudah Anita (30 tahun) berhenti mengonsumsi ayam goreng buatan salah satu restoran cepat saji yang sangat populer di Indonesia. Sudah setahun pula ia tak lagi menikmati minuman soda yang selalu mendampingi makanan tersebut.
Hal itu dilakukannya sebagai bentuk solidaritas atas penderitaan warga Palestina yang tak henti-hentinya diserang oleh pasukan Israel. Sejak ramai aksi boikot, Anita berhenti membeli barang dan makanan yang berafiliasi dengan Israel.
Awalnya, bagi pekerja korporat seperti dirinya, hal itu sangatlah berat. Makanan cepat saji jadi salah satu andalan baginya yang tak bisa berlama-lama istirahat di siang hari. Akan tetapi, lama-lama kebiasaannya makan ayam goreng tersebut bergeser pada makanan yang lebih sehat dan melokal.
"Dalam sepekan bisa beberapa kali makan ke sana, sekarang sama sekali tidak," katanya, belum lama ini.
Saat pertama kali mendengar seruan boikot ini, Anita merasa skeptis. Apa iya, hal ini akan menghentikan serangan Israel ke Gaza. Apa iya, aksi ini akan berdampak pada Israel dan antek-anteknya? Bagaimana kalau ini sia-sia saja?
Ia juga beberapa kali merasa tergoda untuk membeli kembali produk-produk tersebut. Apalagi, substitusi produk yang terafiliasi Israel belum banyak dan kurang variatif. Namun, dia berusaha untuk menghindari konsumsi produk-produk yang jelas memberikan bantuan untuk Israel.
"Sekarang, banyak produk lain yang bisa menggantikan barang-barang yang perusahaannya menyumbang ke Israel," katanya.
Seruan boikot ini awalnya seperti sulit untuk berhasil. Tapi nyatanya, aksi tersebut berdampak cukup signifikan, terutama di Indonesia. Sejumlah perusahaan yang disebut terafiliasi dengan Israel merasakan penurunan penjualan.
PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), perusahaan yang membawahi restoran cepat saji KFC Indonesia, mencatat rugi bersih senilai Rp 348,83 miliar pada semester I 2024. Angka ini melonjak 6.173,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencatat rugi Rp 5,56 miliar.
Kerugian tersebut terjadi karena pendapatan perusahaan yang turun, sementara beban meningkat. Pada semester I 2024, FAST membukukan pendapatan Rp 2,48 triliun, atau turun 20,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pendapatan makanan dan minuman turun menjadi Rp 2,4 triliun dari Rp 3,1 triliun.
Sementara itu, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) mengakui penurunan laba pada semester I 2024 terjadi karena pengaruh geopolitik. Presiden Direktur UNVR, Benjie Yap mengatakan bahwa penurunan kinerja pada semester I 2024 ini disebabkan oleh melemahnya permintaan konsumen akibat ketidakpastian ekonomi.
Benjie juga mengatakan, penjualan perseroan sangat terdampak aksi boikot pada November dan Desember tahun lalu. Unilever membukukan penjualan sebesar Rp 19,04 triliun. Nilai ini turun 6,15 persen secara year on year (yoy).
Penjualan dalam negeri atau domestik tercatat sebesar Rp 18,50 triliun, turun dari periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 19,62 triliun. Kemudian, penjualan ekspor tercatat sebesar Rp 537,34 miliar.
Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) menyampaikan dampak boikot terhadap brand-brand yang diduga terafiliasi mendukung Israel masih terasa sampai saat ini. Namun, Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah mengatakan situasi tersebut mulai berangsur kondusif.
"Untuk dampaknya itu memang masih ada terhadap beberapa merek dari luar," ujar Budihardjo saat dihubungi Republika di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Budihardjo bersyukur sentimen dan boikot yang terjadi di Indonesia tidak separah dengan yang terjadi di negara lain. Ia mencontohkan gerai Starbucks yang hingga saat ini masih beroperasi.
"Untuk Starbucks juga tidak sampai parah sekali," ucap Budihardjo.
Ia menyampaikan aksi boikot relatif lebih mereda belakangan ini. Budihardjo menilai hal ini disebabkan oleh banyaknya pernyataan dari berbagai pihak, termasuk brand tersebut yang menggunakan pasokan lokal untuk produk di Indonesia.
"(Dampak boikot) berangsur-angsur sudah mulai pulih karena pernyataan merek itu punya banyak produsen dan tenaga lokal seperti pasokan ayam hingga telur," lanjut Budihardjo.
Sementara itu, Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) Indonesia terus menyuarakan aksi protesnya terhadap Israel dengan tidak membeli atau menggunakan produk yang terafiliasi dengan Israel. Co-Founder BDS di Indonesia Giri Ahmad Taufik menyampaikan BDS Indonesia telah menetapkan sejumlah brand yang memiliki afiliasi mendukung Israel seperti HP, Intel, Axa, Disney, McD, Pizza Hut, Burger King, hingga Puma.
"Untuk sementara ini belum ada penambahan (daftar boikot), masih sesuai dengan sebelumnya," ujar Giri saat dihubungi Republika di Jakarta, Rabu (2/10/2024).
Giri menegaskan aksi boikot BDS itu akan selalu menggema selama belum berakhirnya okupasi yang dilakukan Israel. Rentetan serangan Israel seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat untuk meningkatkan aksi boikot.
"Dalam situasi saat ini, boikot justru harus lebih ditingkatkan dan ditekan agar para suporter Israel, terutama korporasi-korporasi yang secara eksplisit mendukung Israel itu tahu," ucap Giri.
Giri menyampaikan gerakan BDS memiliki strategi dengan menyasar pada sejumlah brand yang pro Israel. Hal ini bertujuan agar upaya boikot lebih terarah dan maksimal dampaknya.
"Karakter boikot dari BDS adalah targeted terhadap perusahaan yang secara langsung berkontribusi terhadap kekejaman Israel," lanjut Giri.