Diketahui saat ini pergerakan indeks dolar AS tengah menjadi kuat. Kondisi itu tentunya bakal berdampak pada pelemahan mata uang di berbagai negara, terutama negara berkembang (emerging market) seperti Indonesia.
Ia mengingat saat masa kepemimpinan pertama Donald Trump saat terjadi trade war 1.0 pada sekira 2018—2019, semua mata uang negara berkembang mengalami pelemahan, kecuali baht. Rupiah sendiri mengalami depresiasi sekitar 7 persen saat itu. Itu dampak nyata.
“Kalau misalnya rupiah nanti melemah, BI walaupun punya ruang untuk memangkas suku bunga, ia tidak akan tergesa-gesa untuk menurunkan suku bunga yang sama juga seperti Fed. Karena bayangkan, sudah rupiah melemah, BI potong suku bunga, makin tidak attractive untuk orang pegang rupiah,” jelasnya.
“Termasuk foreign investor, yang tadinya pegang rupiah dia bilang ‘loh sudah secara risiko negara lebih tinggi, mata uang melemah, suku bunga dipangkas pula, makin tidak insentif untuk saya bertahan’. Maka yang mereka lakukan adalah bisa buang saham Indonesia, obligasi Indonesia, dikonversikan balik ke mata uang mereka, dan keluar dari Indonesia. Itu akan membuat rupiah makin terpuruk,” lanjut Lilis.
Oleh sebab itu, Lilis menekankan bahwa saat ini BI memiliki PR yang tidak mudah dengan adanya kondisi tersebut. Sehingga mesti benar-benar berhati-hati dalam memutuskan kebijakan suku bunga.
“Era-era ini BI punya PR sedikit lebih sulit untuk betul-betul mencermati gerakan dari Fed Rate, kemudian sesudah Fed memangkas lihat dampaknya apa ke rupiah, dan baru berdasarkan reaksi tersebut BI kemudian bisa beraksi apakah akan pangkas atau tidak. Dan kalau pangkas, berapa banyak,” tuturnya.
BI diketahui masih akan melakukan rapat dewan gubernur (RDG) untuk menentukan kebijakan suku bunga sebanyak dua kali lagi pada tahun ini, yakni RDG November dan RDG Desember 2024. Lilis menekankan adanya dua kemungkinan, baik memangkas suku bunga ataupun mempertahankan suku bunga.
“Kemungkinan BI akan bertahan di 6 persen, tapi ada kemungkinan berani memangkas satu kali sebesar 0,25 persen apabila The Fed di bulan Desember juga memangkas 0,25 persen,” terangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Chief Economist Permata Bank Josua Pardede mengatakan, kemungkinan penurunan suku bunga BI Rate memang masih ada, namun ruangnya memang cenderung lebih terbatas karena pengaruh dari kebijakan The Fed, kaitannya dengan perkembangan data ekonomi AS.
“Karena kembali lagi ke pernyataan Powel (Ketua The Fed) bahwa dia akan data independent, akan mengikuti bagaimana perkembangan data ke depan. Kalau data ekonomi AS bagus-bagus saja mungkin dia akan tahan suku bunga, tapi kalau data-data ekonomi AS sudah agak kelihatan jelek kemungkinan bank sentral AS mempertimbangkan memangkas suku bunga, dan pada saat itulah menjadi momentum BI juga memangkas suku bunga,” jelas Josua.