EKBIS.CO, JAKARTA -- Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) melakukan kajian mengenai tantangan yang dihadapi pemerintahan terbaru di sisi ekonomi. Ada beberapa sektor, salah satunya perihal subsidi energi.
Ini bukan isu lama. Pemerintah, baik di era Presiden Joko Widodo sampai saat ini, di awal kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, juga fokus mengurusi hal itu. Namun, belum ada keputusan final perihal penyalurannya.
"Reformasi subsidi energi ini memang harus kita dorong, karena kita tahu beban fiskal semakin meningkat. Subsidi energi ini harus kita reformulate (rumuskan kembali). Kita akui subsidi energi ini belum tepat sasaran," kata Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti dalam diskusi di Jakarta, Jumat (22/11/2024).
Ia menceritakan pengalaman pribadinya. Saat ia mengisi bahan bakar kendaraan di SPBU, menurutnya masih banyak mobil mewah antre untuk mendapatkan BBM subsidi. Artinya, dinikmati oleh orang yang tidak selayaknya memperoleh itu.
Itulah mengapa perlu dirumuskan kembali. Pasalnya subsidi atau kompensasi berasal dari uang negara. Subsidi salah satu beban fiskal yang signifikan bagi negara.
"Jadi tantangan bagi pemerintah harus didorong untuk segera mengubah mekanisme subsidi, yang tadinya terbuka ke tertutup. Jadi memang targetnya harus ke sasarannya," ujar Esther.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia sudah mengeluarkan pernyataan tentang hal ini. Belum ada keputusan final. Pasalnya masih harus dilakukan kajian, untuk dilaporkan ke Presiden Prabowo.
Bahlil mengatakan, subsidi LPG menggunakan skema yang selama ini dilakukan. Kemudian, untuk dua subsidi energi lainnya, listrik dan BBM, berpotensi menggunakan bantuan langsung tunai (BLT).
Secara keseluruhan INDEF melakukan kajian terkait terkait pertumbuhan ekonomi 2025 nantinya. INDEF menganalisis berdasarkan situasi yang terjadi saat ini.
Dimulai dari perlambatan konsumsi, kemudian pelemahan daya beli masyarakat. Sejak Mei-September 2024, Indonesia mengalami deflasi lima bulan beruntun. Pertumbuhan ekonomi melambat dari triwulan I hingga triwulan III tahun ini.
"Dari sisi proyeksi ekonomi, kami memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 itu sekitar 5 persen, inflasi 2,8 persen, kurs rupiah terhadap dolar Rp 16.100 per satu dolar AS, tingkat pengangguran terbuka 4,75 persen, tingkat kemiskinan sekitar 8,8 persen," ujar Esther.
Dalam paparannya, ia memulai dengan menyinggung kabinet di pemerintahan terbaru. Ada 107 menteri dan wakil menteri. Itu belum ditambah beberapa pejabat setingkat menteri seperti kepala lembaga, dan sebagainya.
Kabinet yang besar itu, lanjut Esther ditargetkan mencapai pertumbuhan ekomomi 8 persen. Dari beberapa data analisi INDEF, gambarannya seperti yang dijabarkan di atas. Itu menjadi tantangan bagi pemerintahan Prabowo Subianto mencapai tujuan yang ditetapkan.