Menurut Mentan, minimal setiap brigade pangan bisa memperoleh pendapatan Rp 10 juta per bulan. Untuk yang benar-benar rajin berpotensi mendapat Rp 30 juta per bulan. Pemerintah membangun sistemnya. Lalu mengenai bagi hasilnya, 30 persen untuk pemilik lahan. Sisanya, 70 persen untuk pengelola, manajerial keseluruhannya.
"Hitung-hitungan kemarin, rata-rata (pendapatan) Rp 20 juta. Tapi minimal Rp 10 juta per bulan."
Mengenai cetak sawah, itu strategi yang pernah dijalankan. Namun sebelumnya berujung kegagalan. Amran menjelaskan mengapa pendekatan tersebut, awalnya tak berbuah peningkatan produksi.
Ia menerangkan, itu karena setelah sawah baru dicetak, ditinggalkan, tanpa ada polesan lanjutan. Alhasil, si pemilik lahan mengelola semampunya secara manual. Hasilnya tak sesuai yang diharapkan.
"Tidak mungkin dengan cangkul mengelola 200 hektare, 500 hektare. Satu orang, di Kalimantan, itu 400 hektare Lahannya. Mana mungkin mau dikelola dengan cangkul, 400 hektare itu. Dua tahun tidak selesai kalau satu orang. Benar nggak? Di Papua juga demikian. Kalau di Papua, satu orang, punya 1000 hektare," tutur Amran.
Itulah mengapa pemakaian teknologi sangat vital. Pekerjan jadi lebih efisien, membuka lapangan kerja baru, dan menambah hasil dari komoditas yanag ditanam.