Sentimen dalam negeri
Sementara itu, ada sejumlah sentimen internal atau dalam negeri yang juga membuat rupiah mengalami anjlok ke level Rp 16.000 per dolar AS. Terutama mengenai kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang keukeuh akan dijalankan oleh pemerintah.
“Dampak kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen yang diproyeksikan mulai berlaku pada 2025. Kebijakan tersebut berpotensi menambah penerimaan negara hingga Rp 75 triliun, efeknya terhadap ekonomi makro tidak dapat diabaikan,” ujarnya.
Ibrahim menuturkan, risiko terhadap inflasi dan daya beli masyarakat harus diwaspadai. Sebagai contoh, pada 2022 ketika PPN naik menjadi 11 persen, inflasi meningkat hingga 0,95 persen dalam satu bulan. “Dampak serupa bisa terjadi, bahkan lebih besar,” tegasnya.
Para ekonom memperingatkan potensi efek crowding out pada konsumsi dan investasi. Daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, kemungkinan besar akan tertekan dan ini bisa berdampak pada penurunan konsumsi rumah tangga yang merupakan motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi.
“Selain itu, pentingnya alokasi yang tepat untuk pendapatan tambahan dari kenaikan PPN. Pendapatan tersebut harus diarahkan untuk mendukung program-program pro-rakyat, seperti subsidi kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur dasar,” terangnya.
Berdasarkan analisis Ibrahim dengan melihat sentimen eksternal dan internal yang terjadi, rupiah diperkirakan akan melanjutkan pelemahan pada awal pekan depan. “Diperkirakan untuk Senin depan (16/12/2024), mata uang rupiah fluktuatif, namun ditutup melemah direntang Rp 15.090-Rp 16.070 per dolar AS,” tutupnya.