Perry mengatakan, ketiga faktor tersebut (cakupan negara yang diperluas, tarif yang lebih tinggi, dan komoditas yang lebih banyak) akan memberi dampak pada kondisi perlambatan ekonomi global serta kenaikan inflasi. Hal itu karena terganggunya rantai pasok akibat pengenaan tarif, yang membuat volume perdagangan akan menurun.
“Ini akan menurunkan tidak hanya pertumbuhan ekonomi dunia, tetapi juga harga-harga di berbagai dunia, dan itulah membuat kenaikan inflasi,” kata Perry.
Perry melanjutkan, selain membaca langkah-langkah kebijakan AS yang agresif tersebut, BI juga menyoroti reaksi China terhadap rencana kebijakan tersebut. Ia menyebut China telah mengumumkan akan membatasi ekspor ke AS pada 3 Desember lalu untuk sejumlah produk, seperti produk mineral gallium, germanium, dan antimoni untuk bahan-bahan termasuk aplikasi militer. Juga bahan-bahan untuk cip semikonduktor. Sedangkan, China diketahui kontribusinya untuk refine gallium mencapai 99,8 persen di dunia, produk antimony 48,8 persen, dan refine germanium 59 persen.
“Inilah yang tentu saja berpengaruh, yang disebut fragmentasi perdagangan, bahwa ketidakpastian pasar keuangan global semakin meningkat dengan risiko perlambatan ekonomi dunia. Kami akan terus memantau dampaknya seperti apa,” tegas Perry.
Diketahui, BI memutuskan mempertahankan suku bunga sebesar 6 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulan Desember 2024. Keputusan itu dilakukan demi menjaga stabilitas rupiah, di tengah kondisi ketidakpastian pasar keuangan global.
Diketahui, saat ini pergerakan nilai tukar rupiah telah menembus angka Rp16.000 per dolar AS. BI mencatat nilai tukar mata uang rupiah pada Desember 2024 (hingga 17 Desember 2024), mengalami pelemahan sebesar 1,37 persen (ptp) dari bulan sebelumnya. Mata Uang Garuda juga tercatat mengalami depresiasi 4,16 persen pada sepanjang 2024 dibandingkan akhir Desember 2023.
Perry menerangkan bahwa langkah berfokus pada rupiah tersebut karena terjadinya kondisi ketidakpastian pasar keuangan global yang eskalasinya terus meningkat, terkait dengan arah kebijakan AS. Juga ruang penurunan FFR yang lebih rendah, penguatan mata uang dolar AS secara luas, dan risiko geopolitik yang mengakibatkan berlanjutnya preferensi investor global untuk memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS.
Ia menilai ketidakpastian pasar keuangan global terpantau semakin meningkat, disertai dengan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Rencana kebijakan perdagangan di AS melalui kenaikan tarif impor, komoditas, dan cakupan negara yang lebih luas telah menyebabkan risiko peningkatan fragmentasi perdagangan dunia. Perkembangan ini yang disertai dengan eskalasi ketegangan geopolitik di banyak negara.
Selain itu, kebijakan fiskal AS yang lebih ekspansif mendorong yield US Treasury tetap tinggi, baik pada tenor jangka pendek maupun jangka panjang. Penguatan mata uang dolar AS secara luas terus berlanjut disertai berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS.
Hal itu meningkatkan tekanan pelemahan berbagai mata uang dunia dan menahan aliran masuk modal asing ke negara berkembang. Perkembangan ekonomi global yang diikuti dengan tetap tingginya ketidakpastian pasar keuangan global tersebut memerlukan respons kebijakan yang kuat untuk memitigasi dampak negatifnya terhadap perekonomian di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.