Warta Ekonomi.co.id, Jakarta
Nama Fujifilm hingga kini masih identik dengan film dan dunia kamera. Fujifilm berdiri sejak 1934 sebagai spin off dari divisi film fotografi perusahaan pembuat film sinema di Jepang, Dainippon Celluloid Company.
Kemudian terjadilah revolusi digital menjelang akhir abad ke-20. Peralihan medium penangkap gambar kamera dari lembaran film menjadi sensor elektronik telah membawa peruntungan bagi Fujifilm yang berani berevolusi. Hal berbeda terjadi pada Kodak.
Baca Juga: Elon Musk Bagikan Kisah Titik Terendah Hidupnya 12 Tahun Lalu
Tahun 1934 nama pertama Fujifilm adalah Fuji Photo Film Co., Ltd. Fujifilm mengembangkan bisnis ke ranah manufaktur lensa dan perlengkapan optis pada dekade berikutnya. Pasca Perang Dunia II, Fujifilm kembali melakukan diversifikasi ke bisnis X-ray untuk keperluan medis, percetakan, electronic imaging, dan magnetic material, lalu melakukan joint venture dengan Xerox pada 1962.
Selama dekade-dekade berikutnya, bisnis film kamera yang menjadi tulang punggung Fujifilm berkembang hingga menjadi saingan berat Kodak yang merupakan raksasa fotografi asal Amerika Serikat yang telah eksis sejak abad ke-19.Â
Pada tahun 1980-an, Fujifilm memperkenalkan kamera 35mm disposable pada 1986, dan diikuti oleh Kodak pada 1988. Bagi kedua perusahaan tersebut saat itu, film 35mm adalah segalanya.
Ironisnya, Kodak yang menciptakan kamera digital pertama pada tahun 1975 justru sempat tumbang di masa transisi kamera dari film analog ke digital. Namun, Fujifilm selamat karena telah lebih dulu mengembangkan bisnis dan teknologi hingga mencakup ranah medis dan elektronik.
Bisnis utama keduanya memang adalah film dan penjualan peralatan post-processing. Pada 2000 -- sebelum era kamera digital, penjualan barang terkait film merupakan penyumbang 72% pemasukan Kodak dan 60% bagi Fujifilm. Pada era itu, Kodak dan Fujifilm adalah penguasa penjualan film dan peralatan pemrosesannya.Â
Pada 2001, Fujifilm dan Kodak berada di puncak kejayaan. Keduanya menguasai pasaran film kamera, masing-masing dengan pangsa pasar 37 persen dan 35 persen. Sebanyak 60 persen penjualan dan 70 persen profit Fujifilm berasal dari bisnis film.
Baca Juga: Waktu Bayi Dibuang ke Tempat Sampah, Pria Ini Kini Jadi Miliarder
Pada 2005, penjualan film kamera secara global menyusut tajam sebesar 50 persen. Dalam waktu 10 tahun, kontribusi film kamera terhadap penjualan Fujifilm terjun bebas dari 60 persen menjadi hampir nihil.
Namun, Fujifilm selamat. Belakangan, meski masih mengemban kata "film" di namanya, perusahaan tetap naik daun hingga lini kamera mirrorless besutannya.
Namun, untuk setiap kamera digital yang mereka jual pada 2001, Kodak merugi hingga akhirnya bangkrut pada 2012.
Pada 2010, saat pasar film merosot menjadi kurang dari 10%, Fujifilm bisa mengembangkan pemasukannya sebesar 57% jika dibanding pada 2000. Sementara Kodak pemasukannya malah menurun 48% dalam rentang waktu yang sama.
Bagaimana bisa Fujifilm bertahan?
Fujifilm telah melakukan restrukturisasi bisnis filmnya dengan menyunat lini produksi dan menutup fasilitas yang dianggap tak diperlukan. Selain itu, mereka juga melakukan penelitian agar bisa mengadaptasi teknologi yang dimiliki Fujifilm ke area lain.
Hal ini dilakukan karena bisnis kamera digital tak seperti bisnis film kamera. Alhasil Fujifilm pun merambah bisnis farmasi, kosmetik bahkan merambah produksi panel LCD lewat FUJITAC yang kini menjadi sebuah komponen penting dalam produksi panel LCD yang ada saat ini.