EKBIS.CO, JAKARTA--Dibentuknya lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diamanatkan undang-undang pada akhir tahun ini akan menjadi beban perbankan, kata pengamat perbankan Ryan Kiryanto di Jakarta, Minggu.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini, menurut dia, bakal membebani perbankan karena institusi ini akan menarik biaya-biaya dari perbankan dan lembaga keuangan nonbank yang menjadi objek pengawasannya.
Beban akibat biaya itu muncul, lanjut dia, karena selama ini Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan terhadap perbankan tidak menarik biaya atau iuran sepeser pun.
"Jelas itu akan menambah beban bagi bank karena selama ini tidak ada pungutan untuk pengawasan oleh BI. Biaya ini akan menambah `over head cost` perbankan yang bisa memengaruhi naiknya suku bunga kredit," kata ekonom dari BNI itu.
Dalam naskah RUU OJK yang sudah sampai di DPR, pada Pasal 30 disebutkan bahwa OJK dalam rangka membiayai kegiatannya menetapkan dan memungut biaya yang wajib dibayar oleh industri jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan jenis biaya yang dapat ditetapkan, antara lain berupa biaya terhadap perizinan, pendaftaran, pengesahan, pengawasan, pemeriksaan, penelitian, dan transaksi perdagangan efek. Biaya tersebut ditagih secara bulanan, tahunan, atau sewaktu-waktu sesuai karakteristik biaya yang dimaksud.
Ryan menilai jika setiap kegiatan industri keuangan harus dikenai biaya tentu akan sangat memberatkan pelaku industri karena selama ini setiap kegiatan seperti di perbankan hanya wajib melaporkannya saja ke BI tanpa harus dikenai biaya.
"Kalau semua kegiatan seperti perizinan, pendaftaran, dan lain-lain yang jumlahnya sangat banyak di perbankan dikenai biaya, tentu bebannya berat, apalagi bagi bank-bank kecil," kata Ryan.
Selain itu, dengan biaya yang dibayarkan industri yang diawasi, Ryan menilai independensi OJK sangat gampang goyah karena mereka hidup dari biaya yang ditarik industri keuangan.
"Selama ini kan pengawasan oleh BI tidak menimbulkan masalah bagi perbankan, kenapa tidak tetap di BI saja untuk pengawasan perbankannya," katanya.
Ryan berpendapat sebaiknya rencana pendirian OJK kembali dipikir matang-matang oleh pemerintah agar tidak menimbulkan komplikasi-komplikasi yang berdampak pada munculnya ketidakpastian di sektor keuangan, terutama perbankan yang menguasai 80 persen sektor keuangan Indonesia.
"Kalau OJK lebih banyak `mudharat`-nya kenapa harus dipaksakan? Undang-undang yang mengamanati pendirian OJK kan bukan kitab suci yang tidak bisa diubah. Jadi batas waktu pendirian OJK 31 Desember 2010 bisa saja diamandemen dengan mempertimbangkan kepentingan nasional," katanya.
Selain itu, Ryan juga menyarankan agar DPR dalam pembahasan RUU OJK ini mendengar masukan dari pemangku kepentingan, seperti Bank Indonesia dan perbankan, serta tidak memaksakan pendirian OJK jika ternyata memberatkan industri keuangan dan mempersulit kegiatan moneter yang dilakukan BI.
"Desain OJK belum sempurna. Semua pemangku kepentingan di industri keuangan serta pihak terkait seperti BI harus setuju dulu baru OJK dijalankan, dan itu mungkin tidak segera," katanya.