EKBIS.CO, SURABAYA--Pengusaha tekstil menyesalkan keputusan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mengenakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) kepada impor produk serat sintetis (polyester staple fibre) asal India, Cina, dan Taiwan dengan nomor HS 5503.2000.
Ketua Umum Badan Pengurus Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Timur, Sherlina Kawilarang, menyatakan kekecewaannya terhadap keputusan Kemenkeu itu yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 196/2010.
Dia menegaskan, dengan adanya keputusan tersebut, maka produsen tekstil mulai dari pemintalan benang hingga garmen terancam tidak bisa melakukan produksi. "Pabriknya tidak bisa produksi karena biayanya tinggi," katanya kepada wartawan usai Temu Bisnis Kementerian Perindustrian, Rabu (15/12).
Apabila tetap melakukan produksi, maka, kata dia, produsen nasional terpaksa harus menjual produknya dengan harga yang lebih mahal. Dia menuturkan, ketika produsen menjual produknya dengan harga tinggi, maka tidak akan bisa bersaing secara global. Karena bahan baku impor dikenakan bea sementara produk dalam negeri harganya tinggi.
Berdasarkan PMK tersebut, impor poliester staple fiber dari India sebesar 5,82%- 16,67% untuk tiga eksportir yaitu reliance industry limeted (5,82%), ganesh polytex limited (16,67%) dan ekportir lainnya (16,7%), sedangkan produk dari Cina dikenakan sebesar 11,94% untuk perusahaan eksportir atau produsen lainnya. Dan untuk seluruh produsen dan eksportir dari Taiwan dikenakan sebesar 28,47%. BMAD tersebut berlaku sejak tanggal 23 November 2010.
Sherlina mengaku heran Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) memaksakan hasil investigasinya sebagai data yang benar padahal API berpendapat tidak ada kerugian di industri dalam negeri akibat masuknya serat impor dari ketiga negara itu. "Masa lebih percaya data KADI yang institusi, kalau API ini asosiasi, jadi tahu lebih dalam kondisi industri TPT di Indonesia," katanya.