EKBIS.CO, PURWOKERTO--Pengamat ekonomi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Agung Praptapa, menilai, pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebagai strategi diskriminasi yang dilakukan pemerintah. "Ada diskriminasi. Jadi, untuk orang tertentu diberikan harga tertentu," katanya di Purwokerto, Senin (20/12).
Menurut dia, strategi tersebut sebenarnya baik tetapi dari sisi kontrol sulit dilakukan. Ia mengatakan, kendaraan niaga boleh membeli BBM baik bersubsidi maupun nonsubsidi sedangkan kendaraan lainnya harus BBM nonsubsidi.
"Karena orang berpikir ekonomis, nanti ada kecenderungan penumpukan-penumpukan (penimbunan BBM, red.)," katanya. Menurut dia, langkah paling praktis yang sebaiknya dilakukan pemerintah adalah menyamaratakan harga BBM baik bersubsidi maupun nonsubsidi dengan memberikan insentif kepada masyarakat yang membutuhkan.
Ia mengatakan, insentif dapat diberikan dalam bentuk lain sehingga akan mudah dalam pengawasannya."Bukan dengan misal, pelat kuning (kendaraan niaga, red.) mendapat premium sedangkan pelat hitam tahun ini harus pertamax. Itu repot," katanya.
Dia mencontohkan, kendaraan niaga dalam operasionalnya tetap membeli BBM dengan harga yang sama dengan kendaraan lainnya. Namun, katanya, pemerintah wajib memberikan berbagai kemudahan pada pelat kuning yang nilainya setara dengan nilai subsidi, misalnya keringanan pembayaran pajak atau dalam bentuk lain yang mendukung bisnis operator kendaraan niaga.
"Menurut saya, hal itu akan lebih gampang dalam aspek kontrolnya," kata Agung yang juga dosen Fakultas Ekonomi Unsoed itu. Ia juga mengatakan trategi pembatasan BBM bersubsidi yang direncanakan pemerintah pernah dicoba di sejumlah negara tetapi gagal.
Saat harga BBM tinggi, kata dia, Amerika pernah berpikiran untuk menerapkan strategi diskriminasi tetapi akhirnya dibatalkan. Pertimbangan mereka itu akan berakibat buruk sehingga negara itu memberikan subsidi dalam bentuk lain.
Selain itu, katanya, strategi pembatasan BBM yang direncanakan pemerintah juga akan berdampak kepada masyarakat di pelosok yang jauh dari stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Mereka sebagian besar mengandalkan keberadaan pengecer, sedangkan pengecernya kesulitan untuk membeli BBM di SPBU.
"Pemerintah sebaiknya memikirkan strategi alternatif sehingga akan lebih mudah dalam pengawasannya," kata Agung.