EKBIS.CO, REMBANG -- Di tengah gejolak harga kedelai akibat kelangkaan produksi di negara produsen, harga garam di beberapa daerah merosot tajam. Akibatnya, petani garam pun harus gigit jari.
Seperti petani di kabupaten Rembang, Jawa Tengah, yang terpaksa harus menjual garamnya di kisaran harga Rp 300 per kg.
Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, menilai jatuhnya harga garam akibat tingkah laku importir yang memasukkan garam dari luar negeri ketika sedang panen. Sehingga, harga yang ditetapkan oleh petani pun tidak bisa bersaing.
"Repotnya ketika impor masuk kadang bersamaan ketika garam sedang memanen sehingga harga garam jatuh. Ini tidak boleh terjadi,"ujarnya saat kunjungan kerja safari Ramadhan di Rembang, Sabtu (5/8).
Seharusnya, tutur Hatta, para pengusaha garam terlebih dahulu menyerap garam lokal petani. Jika sudah terserap seluruhnya, baru boleh mengimpor. Oleh karena itu, Hatta pun memberi lampu kuning terhadap para pengusaha tersebut.
"Apabila ada eksportir yang tidak mengambil garam rakyat itu pelanggaran. Maka tidak boleh mengimpor," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah sudah menetapkan bahwa harga untuk garam di kualitas 1 yakni Rp 750 per kg. Sedangkan, untuk kualitas 2 sekitar Rp 550 per kg.
Saat harga garam lokal tidak bisa bersaing, tuturnya, maka akan menghentikan petani garam melakukan produksi dan kian membuat garam impor merajalela. Untuk saat ini saja, Hatta mengungkapkan kebutuhan garam nasional adalah 3,2 juta ton. Terdiri atas garam untuk masyarakat 1,2 juta ton dan 1,8 juta ton garam industri.
Menurutnya, terdapat 2,1 juta ton garam yang masih impor. Hanya 1,1 juta ton dipenuhi oleh produksi lokal.Bahkan, Hatta pun berjanji untuk mempertimbangkan usul petani garam agar membuat pasokan cadangan garam seperti pada beras.
Hatta menegaskan usul itu sedang dikaji oleh tim revitalisasi Bulog yang saat ini sedang membahas perluasan komponen pangan.
"Nanti apakah garam termasuk atau tidak kita lihat saja,"jelasnya.
Sebelumnya, kementerian perdagangan sudah memutuskan untuk mengimpor garam sebanyak 2,1 juta ton pada tahun ini. Impor tersebut terdiri dari 500.000 ton garam konsumsi dan 1,6 juta ton garam industri.
Keputusan impor garam diambil dengan pertimbangan kekurangan stok di dalam negeri setidaknya selama 4,5 bulan. Pasalnya, panen raya diperkirakan jatuh pada Juli.Salah satu pemilik lahan garam di desa Purworejo, Fuad, mengaku hanya bisa menjual garam Rp 310 per kg ke pabrik.
Padahal, tahun lalu dia bisa menjual Rp 600 per kg ke pabrik. Beruntung lahan tambak Fuad lebih luas ketimbang tambak lain. Dengan satu hektar lahan yang dimilikinya, Fuad mampu memproduksi 30 ton per pekan.
Sehingga, dia masih bisa mengupah pegawainya Rp 450.000 setiap minggu.Untuk menyiasati kejatuhan harga, Fuad mengaku fokus kepada produksi garam kualitas 2. Alasannya, beda dengan garam kualitas 1 di pabrik hanya Rp 20. Sehingga, ungkap Fuad, biaya produksi pun bisa menjadi lebih dihemat.
"Karena garam kualitas 1 lebih bikinnya lebih lama dan lebih mahal tapi untungnya sama saja," ujar Fuad.Dia pun meminta kepada pemerintah untuk segera menstabilkan harga. Jika tidak, ujarnya, para pemilik lahan akan kesulitan mengupah petani garam.
"Harga dasar garam jangan terlalu rendah, paling tidak Rp 350 per kg," ujarnya lirih. Sehingga, ujarnya, harga garam bisa mengikuti harga kebutuhan pokok yang lain.