EKBIS.CO, JAKARTA -- Lembaga riset ekonomi Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menilai penyerapan hutang luar negeri untuk pembangunan harus diperbaiki.
"Kemampuan penyerapan hutang untuk belanja negara hanya 71,2 persen per tahun, ini menunjukkan bahwa manajemen hutang Indonesia tidak efektif," kata Direktur INDEF, Enny Sri Hartati, di Jakarta, Selasa (16/10).
Menurut Enny, jika kemampuan penyerapan itu terus berada pada level sekarang, maka beban negara untuk membayar hutang tidak sebanding dengan manfaat yang didapatkan masyarakat dari pinjaman luar negeri.
Enny mengungkapkan bahwa 22,5 persen hasil pajak masyarakat pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2012 diperuntukkan sebagai pembayaran bunga pinjaman dan cicilan pokok hutang.
"Dalam kondisi ini, masyarakat telah telah membayar hutang pemerintah namun pada saat bersamaan tidak mendapatkan manfaat dari pinjaman yang telah didapatkan," kata Enny.
Hutang luar negeri yang belum terserap pada 2012 ini sebesar Rp 157,9 triliun atau setara dengan setengah anggaran untuk subsidi energi yang tahun ini mencapai Rp 301 triliun.
Tidak efektifnya hutang sebagai instrumen penambah modal pembangunan menurut Enny juga terlihat dari lambatnya laju pengurangan kemiskinan dan pengangguran.
"Kemiskinan dan pengangguran memang turun, namun laju penurunannya tidak seimbang dengan besaran hutang yang sudah dilakukan oleh pemerintah," kata dia.
Melihat kondisi tersebut, Enny menyimpulkan bahwa manajemen hutang pemerintah pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono lebih buruk dibanding pada masa Orde Baru di bawah mantan Presiden Soeharto.
"Pada masa Orde Baru, hutang luar negeri khusus diperuntukkan sebagai dana membangun infrastruktur, sementara pada masa sekarang tidak," kata dia.