EKBIS.CO, JAKARTA -- Persetujuan kontrak kerja sama Blok East Natuna di Kepulauan Riau masih terus menunggu keputusan Kementerian Keuangan. Persoalan insentif hingga kini masih belum final.
Menurut Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini ini bukan hal gampang. "Tidak terlalu mudah untuk Kemekeu melepas insentif karena ini bisa mengurangi pendapatan negara," tegasnya Kamis (6/12). Meski demikian, pihaknya sudah memberi sejumlah pertimbangan agar insentif bisa diberikan. Pasalnya ini akan mempengaruhi keuangan konsorsium pengelola blok kaya gas alam itu untuk membuat infrastruktur penyalur gas.
Sebagaimana diketahui untuk menyalurkan gas, konsorsium bisa memilih antara membuat jaringan pipa atau merubah gas menjadi gas alam cair (liquified natural gas/LNG). Jika menggunakan pipa biaya akan lebih murah dibanding LNG. Namun, penggunaan pipa mempersulit mobilitas gas. Berbeda dengan pipa, merubah gas ke LNG bisa membuat gas tak hanya bisa disalurkan untuk ke dalam negeri tapi juga luar negeri.
"Karenanya kita menyarankan infrastruktur East Natuna dibuat dengan menggunakan metode penyaluran gas Lapangan gas Kepodang," katanya. Gas dari lapangan di Blok Muriah di Laut Jawa itu menggunakan dua konsep infrastruktur baik pipa maupun LNG. Di sektor hulu, pipa bisa digunakan. Sedangkan untuk hilir konsorsium disarankan menggunakan skema LNG. "Kita harap pertengahan Desember sudah ada keputusan," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Hulu Pertamina M Husen mengaku menyerahkan sepenuhnya infrastruktur Blok East Natuna pada pemerintah. "Bisa pipa, bisa juga LNG. Jadi kemungkinan LNG juga tengah kita pertimbangkan," jelasnya. Investasi untuk pengembangan Blok East Natuna diperkirakan memakan dana hingga 20 miliar dolar AS. Dana yang digelontorkan cukup besar mengingat tingginya kandungan CO2 di blok tersebut.
Sebelumnya, pemerintah secara resmi menunjuk Pertamina sebagai pengelola Blok Natuna D Alpha atau kini bernama East Natuna melalui Surat Menteri ESDM No 3588/11/MEM/2008 tertanggal 2 Juni 2008 tentang Status Gas Natuna D Alpha. Blok tersebut memiliki cadangan hingga 222 triliun kaki kubik (TCF).