EKBIS.CO, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana memberlakukan pungutan kepada perbankan dan pelaku pasar modal. Adapun rencana koefisiensi besaran pungutan untuk perbankan sebesar 0,03-0,06 persen dari total aset.
Ketua Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas), Sigit Pramono, menilai pungutan OJK itu terlalu bombastis untuk diterapkan. Sigit mengilustrasikan sebutan 'bombastis' itu sebagai berikut.
Berdasarkan data Perbanas per September 2012, total aset bank nasional mencapai Rp 4.009 triliun. Dengan batasan atas 0,06 persen, maka OJK akan memungut Rp 2,4 triliun per tahun dari sektor perbankan.
"Kami jelas keberatan. Saya rasa, biaya pengawasan OJK ini seharusnya tak akan lebih besar dari biaya pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia," kata Sigit kepada Republika dalam 'Financial Executive Gathering 2013' di Jakarta, Kamis (10/1). Menurut dia biaya pengawasan yang dikeluarkan BI hanya berkisar Rp 1,5 triliun per tahun.
Bank dengan aset Rp 300 triliun, kata Sigit, akan membayarkan maksimal Rp 180 miliar per tahun kepada OJK. Bank dengan aset Rp 100 triliun setidaknya akan membayarkan Rp 40 miliar per tahun kepada OJK.
Sedangkan, sumber keuangan OJK itu bukan hanya dari perbankan saja, melainkan juga industri keuangan lainnya, serta APBN.
Perbanas mengusulkan pungutan OJK ini dipaparkan secara transparan. Pasalnya, menurut undang-undang yang berlaku, jika pungutan OJK berlebih maka akan dikembalikan sebagai APBN.
Sigit mengatakan Perbanas juga meminta agar pemberlakuan pungutan OJK ini dilakukan secara bertahap. Tujuannya, agar industri menjadi lebih siap.
Pasalnya, jika dipaksakan, maka akan ada moral hazard jika bank keberatan menyerahkan pungutan ini maka akan melimpahkannya ke nasabah. Industri pada dasarnya tak keberatan membayarkan sejumlah iuran, asalkan diterapkan transparan, wajar, dan bertahap.