EKBIS.CO, JAKARTA - Bulog dan importir umum harus diatur agar bersaing secara sehat untuk urusan impor kedelai. Mantan Direktur Utama Perum Bulog, Mustafa Abubakar, mengatakan kewenangan Bulog mengimpor kedelai merupakan hal yang baru.
Karena itu, perlu diatur agar peranan yang baru ini tidak 'mengganggu' importir yang lebih dulu beraktivitas mengimpor kedelai.
Mustafa mengatakan, melihat besarnya volume kedelai yang harus dikelola, Bulog setidaknya membutuhkan dana 300-500 miliar untuk menopang tugas stabilisasi harga. Namun, pemerintah tidak menyediakan dalam APBN. Padahal, menurut dia, anggaran itu sangat sedikit jika dibandingkan subsidi energi yang besarnya mencapai Rp 300 riliun.
"Apalah arti Rp 1 triliun untuk subsidi bahan makanan pokok. Kepusingan bisa diatasi, yang penting tidak melanggar WTO. Namun importir bisa dikomunikasikan secara baik agar tidak merasa tersaingi, ujar Mustafa dalam diskusi di DPR, Rabu (23/1).
Pemerintah berencana akan menjadikan Bulog sebagai stabilisator harga kedelai dalam negeri. Konsekuensinya, Bulog akan diberi kewenangan untuk mengimpor kedelai. Kewenangan ini rencananya akan tertuang dalam payung hukum berupa Peraturan Presiden (Perpres), namun belum diterbitkan hingga kini.
Sebelumnya, Bulog hanya diberi kesempatan untuk mengimpor beras. Jika Bulog mendapatkan izin impor, artinya Bulog menjadi 'pemain baru' yang menjadi importir kedelai. Mustafa mengatakan persaingan penggunaan lahan pertanian membuat komoditas kedelai cukup sulit diperoleh di dalam negeri. Petani menanam kedelai secara bergantian dengan padi.
Pada tahun 2012, produksi kedelai hanya 783 ribu ton. Produksi kedelai menurun dalam 20 tahun terakhir. Produksi tertinggi pada 1992 mencapai 1,87 juta ton. Pada 2012, Indonesia mengimpor sekitar 1,7 juta ton kedelai. Terbanyak, Indonesia mengimpor dari Amerika.