EKBIS.CO, JAKARTA -- Defisit perdagangan terutama di sektor migas harus diselesaikan serius. Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan defisit migas harus diselesaikan dengan memberikan alternatif penggunaan energi dalam negeri selain bahan bakar minyak (BBM).
“Dalam jangka sangat pendek menurunkan defisit migas sulit. Dalam jangka satu triwulan, minimal bisa dilakukan konversi ke gas,” ujar Enny, saat dihubungi, Ahad (3/2).
Menurutnya, defisit sektor migas tak bisa semata-mata diselesaikan dengan pembatasan BBM bersubsisi. Energi, kata dia, merupakan kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi. Alhasil satu-satunya cara mengurangi defisit di sektor migas, ungkapnya, adalah menyediakan alternatif energi lain.
“Pembatasan BBM hanya berdampak pada pengurangan subsidi. Jika masyarakat menggunakan pertamax, kita tetap saja impor minyak dari luar negeri,” ujar Enny.
Pengurangan impor minyak, kata Enny harus dilakukan secara bertahap sehingga bisa mengurangi ketergantungan impor. Jika belum bisa diimplementasikan secaraluas ke masyarakat, substitusi energi bisa dilakukan oleh PLN, atau perusahaan besar terlebih dulu.
Sepanjang tahun 2012, Indonesia mengalami defisit migas hingga 5,592 miliar dolar AS. Defisit migas ini masih tertolong dengan surplus di sektor non migas yang mencapai 3,966 miliar dolar AS. Secara keseluruhan, Indonesia mengalami defisit perdagangan sebesar 1,65 miliar dolar AS.
Ia mengatakan defisit neraca perdagangan jauh lebih rumit dibandingkan hanya mengurangi subsisi BBM. Efek domino dari defisit neraca perdagangan bisa mengakibatkan pelemahan nilai tukar. Hal itu bisa berdampak terhdapa inflasi. Dalam jangka panjang juga akan mempengaruhi suku bunga, investasi dan bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Secara keseluruhan ia memperkirakan kinerja ekspor di tahun 2013 tidak jauh berbeda dengan potret tahun 2012. Selain permintaan yang menurun karena krisis global, dari sisi daya saing juga dinilai masih lemah.