EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengaturan impor belasan produk hortikutura menuai polemik di dalam dan luar negri. Gugatan Amerika Serikat (AS) melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pun dilayangkan terkait kebijakan ini.
Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Ahmad Dimyanti menilai AS hanya menjadi figuran di balik protes negara eksportir terhadap komoditas hortikultura. Negara eksportir yang dimaksud antara lain Cina dan Australia.
Terlebih lagi, kata Ahmad, selama ini AS mengimpor 40 persen dari keseluruhan kebutuhan hortikultura di negara tersebut. "Kami khawatir, Amerika sedang dimanfaatkan negara eksportir lain yang lebih besar," ujarnya, Selasa (5/2).
Taktik pengendalian impor ini membuka peluang dalam negeri untuk menampilkan produk yang mampu bersaing di pasar internasional. Kesempatan produk dalam negeri untuk memasuki ritel besar seperti Hero, Carreforur dan Hypermart pun terbuka.
Namun kebijakan ini memiliki banyak kelemahan. Insfrastruktur dalam negeri yang belum memadai membuat hambatan di banyak bagian. Koordinasi yang lemah antarsektor pun menimbulkan masalah baru. Proses administrasi yang berbelit memakan waktu lama dan menyebabkan biaya besar.
"Diperlukan kesiapan infratruktur, koordinasi lintas institusi dan SDM yang memadai," tambah Ahmad.
Sementara peneliti dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Bambang Sayaka, menuturkanm, nilai impor hortikultura relatif kecil dari tahun ke tahun. Dalam periode 2009-2011, sebanyak 94 persen total ekspor pertanian berasal dari sektor perkebunan. Hortikultura hanya menyumbang sekitar 1 persen dari keseluruhan ekspor pertanian. Sedangkan nilai impor hortikultura sebanyak 13 persen.
Karena itu, menurutnya, dalam jangka pendek, pengaturan impor ini menyebabkan kenaikan harga karena berkurangnya pasokan di produsen, konsumen dan distributor. Kenaikan ini terjadi pada produk impor dan lokal. Masyarakat pun kekurangan pilihan yang selama ini diramaikan dengan produk impor.
Namun jika diterapkan secara konsisten, lanjut Bambang, kebijakan ini mendorong peningkatan produksi hortikultura dalam negri. Petani lebih bergairah menanam hortikultura karena harga menjadi stabil. Harga yang saat ini melambung pun diperkirakan akan kembali normal pada saat panen raya berlangsung.
Direktur Budidaya dan Pascapanen Buah Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Sri Kuntarsih menyatakan konsistensi pemerintah pusat dalam penerapan kebijakan ini. Dampak kebijakan impor menurutnya sudah dirasakan petani antara lain untuk komoditas mangga. Sebelumnya, mangga di sentra produksi hanya dihargai Rp 500 per kilogram (kg). Kini harganya menjadi Rp 3000 per kg.
Selain itu, tren impor hortikultur, tambah Sri, mengalami kenaikan drastis hampir 200 persen. "Kami juga melakukan kemitraan dengan kelompok-kelompok tani agar bisa menghasilkan produk yang layak untuk pasar," ujarnya.