Senin 11 Nov 2024 21:52 WIB

CORE: 79 Persen Susu Masih Bergantung Impor, Hanya 21 Persen Lokal

Impor susu dalam bentuk bubuk lebih murah dan efisien, semakin mendominasi pasokan.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Lida Puspaningtyas
Peternakan susu sapi di Jalan Mampang Prapatan XV, Jakarta Selatan, Ahad (10/11/2024).
Foto: Eva Rianti
Peternakan susu sapi di Jalan Mampang Prapatan XV, Jakarta Selatan, Ahad (10/11/2024).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Center for Reform on Economics (CORE) menyebut produksi susu dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 21 persen dari total kebutuhan nasional, sementara sisanya, sekitar 79 persen, masih bergantung pada impor.

Pengamat Pertanian dari  Eliza Mardian mengungkapkan keprihatinannya terhadap rendahnya daya saing peternak susu lokal di Indonesia. Ia menilai, meskipun Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan produksi susu, berbagai faktor penghambat, seperti rendahnya produktivitas peternak skala kecil dan ketidakpastian pasar, menjadi tantangan utama yang harus segera ditangani.

Baca Juga

“Sebenarnya, Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan produksi susu lokal. Namun, masalah utama yang dihadapi peternak adalah kurangnya kejelasan pasar dan harga yang tidak stabil. Ketika ada ketidakpastian, seperti pembatasan pembelian susu oleh perusahaan susu besar, peternak lokal menjadi tidak termotivasi untuk memperbesar skala produksi mereka,” ungkap Eliza kepada Republika, Senin (11/11/2024).

Menurut Eliza, ketidakpastian dalam penyerapan susu oleh industri pengolahan susu (IPS) menjadi salah satu penyebab utama ketidakmampuan peternak lokal untuk meningkatkan produksi mereka.

"Peternak tidak dapat merencanakan produksi jangka panjang jika pasar dan harga susu tidak stabil. Bahkan, sering kali perusahaan besar melakukan pembatasan terhadap pembelian susu peternak lokal dengan alasan kapasitas produksi atau penurunan permintaan, yang merugikan peternak di tingkat lokal," jelas Eliza.

Eliza juga menyoroti adanya regulasi yang mengatur kemitraan antara perusahaan susu dan peternak lokal, namun implementasi di lapangan sangat lemah. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 33/2018, perusahaan pengolahan susu diwajibkan untuk bermitra dengan peternak lokal. Namun, kenyataannya, hanya kurang dari 20 persen pelaku usaha yang benar-benar menjalankan kemitraan ini.

"Pemerintah sudah membuat regulasi yang jelas, tetapi pengawasan dan penegakan hukum yang lemah menyebabkan banyak perusahaan mengabaikan kewajiban mereka untuk bermitra dengan peternak lokal," tambahnya.

Eliza juga menegaskan jika kondisi ini terus berlanjut, peternak lokal Indonesia bisa semakin terpinggirkan oleh produk impor yang lebih murah dan efisien, terutama susu bubuk dan skim yang mayoritasnya diimpor. "Jika tidak ada dukungan yang kuat dari pemerintah, peternak lokal akan kesulitan untuk bersaing dan bisa jadi banyak yang memilih berhenti berternak," kata Eliza.

Ia pun mendesak pemerintah untuk lebih tegas dalam menegakkan regulasi terkait kemitraan perusahaan susu dengan peternak lokal. "Regulasi ini harus diterapkan dengan ketat, dan pemerintah harus hadir untuk memberikan insentif kepada perusahaan yang benar-benar bermitra dengan peternak lokal. Selain itu, perlu ada pengawasan yang ketat dan sistem sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi aturan," ujar Eliza.

Ia juga mengusulkan agar pemerintah memberikan pendampingan dan pelatihan kepada peternak lokal untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas susu mereka.

“Jika peternak lokal dapat memperoleh pengetahuan dan teknologi yang tepat, mereka akan lebih mudah meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi susu. Ini juga akan menguntungkan industri susu nasional,” jelas Eliza.

Seiring dengan meningkatnya ketergantungan Indonesia pada impor susu, Eliza meingatkan bahwa jika tidak ada langkah nyata untuk memperbaiki sistem kemitraan antara perusahaan susu dan peternak lokal, industri susu nasional berisiko tergerus oleh dominasi susu impor. Impor susu dalam bentuk bubuk, yang lebih murah dan efisien, semakin mendominasi pasokan susu di Indonesia.

"Perusahaan pengolahan susu lebih memilih susu bubuk impor karena selain biaya produksi yang lebih rendah, susu bubuk juga memiliki masa simpan yang lebih lama. Di sisi lain, susu lokal yang berbentuk cair memiliki masa simpan lebih pendek dan memerlukan sistem distribusi yang lebih cepat dan biaya logistik yang lebih tinggi," jelas Eliza.

Karena, meskipun kualitas susu lokal tidak kalah dengan produk impor, masalah efisiensi biaya produksi yang diutamakan oleh perusahaan besar membuat mereka lebih memilih susu impor dalam bentuk bubuk atau skim. Hal ini menjadi salah satu tantangan besar bagi peternak lokal yang ingin bersaing di pasar dalam negeri.

Untuk menjaga keberlanjutan industri susu nasional, Eliza mengusulkan beberapa langkah yang perlu segera diterapkan. Pertama, pemerintah harus memperkuat regulasi kemitraan antara perusahaan susu besar dengan peternak lokal, dengan menegakkan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya. Kedua, pemerintah perlu menciptakan sistem yang memberikan kepastian pasar bagi peternak, termasuk pengembangan pasar domestik yang lebih luas untuk susu lokal.

Selain itu, Eliza juga menekankan pentingnya insentif untuk perusahaan yang lebih banyak bermitra dengan peternak lokal dan melakukan pengolahan susu dalam negeri. Dengan begitu, baik peternak maupun industri pengolahan susu dapat saling menguntungkan dan memastikan keberlanjutan produksi susu nasional.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement