EKBIS.CO, JAKARTA -- Impor bahan bakar minyak (BBM) yang tinggi menjadi salah satu penyebab terjadinya defisit transaksi berjalan (current account). Bank Indonesia (BI) mendata setiap Pertamina masuk ke pasar uang, maka perusahaan pelat merah ini setidaknya menghabiskan 150 juta dolar AS per hari.
"Jumlah tersebut ikut membuat kurs pasar uang menjadi tipis," kata Direktur Grup Riset Ekonomi Departemen Ekonomi dan Kebijakan BI, Endy Dwi Tjahjono, di Jakarta, Rabu (6/2). Sementara harga BBM yang terlalu rendah akan memberatkan BI dalam menjaga Rupiah.
Oleh karenanya, kata Endy, BI menyediakan valas khusus untuk kepentingan Pertamina dan PLN dalam bentuk dolar AS. Secara keseluruhan, defisit transaksi berjalan sepanjang 2012 sekitar 24 miliar dolar AS. Surplusnya secara keseluruhan hanya 150 juta dolar AS. Neraca finansial surplus 22,4 miliar dolar AS.
Pernyataan Endy ini diamini oleh Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Mirza Adityaswara. Mirza mengatakan neraca buruk karena harga BBM terlalu murah. BBM murah memicu konsumsi BBM masyarakat masih tinggi, sehingga memicu impor minyak tetap tinggi. "Gas tidak bisa menutupinya," ujarnya.
Harga BBM yang murah, lanjut Mirza, akan mendongkrak laju impor dan akhirnya tak bisa diimbangi laju ekspor. Meski ekspor Indonesia sedang turun, namun LPS memperkirakan ekspor akan naik kembali ketika ekonomi Cina sudah kembali tumbuh. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Cina tahun ini berkisar 7,5 persen hingga delapan persen.
Sayangnya, kata dia, peningkatan ekspor Indonesia biasanya akan diikuti juga oleh peningkatan laju impor migas dan nonmigas. Pemerintah dan BI disarankan mendongkrak pertumbuhan sektor riil yang berkelanjutan untuk meredam kondisi mengkhawatirkan itu.
Pemerintah, tambah Mirza, tak bisa membiarkan impor, khususnya impor migas naik terus, di tengah melandainya laju ekspor. Jika impor migas tetap tinggi, maka cadangan nonmigas menjadi defisit. Ketika cadangan nonmigas defisit maka cadangan devisa akan terkuras.
Dalam bidang pembangunan, pemerintah akan terus menarik utang untuk membayar utang. "Ini harus diseimbangkan kembali. Jika terlambat, maka ini akan merambat ke sektor lain, khususnya properti," ujar Mirza.