EKBIS.CO, JAKARTA – Pemerintah dinggap belum siap memadukan kebijakan pengandalian impor bahan makanan dengan industrialisasi bahan baku di sektor hulu. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan di Indonesia belum ada kejelasan menggenai industri bahan baku di sektor hulu dan hilir.
Ia mencotohkan mengenai pengendalian impor buah-buahan belum dibarengi dengan lahirnya perkebunan skala industri yang dapat menopang kebutuhan industri makanan dan minuman. Ia juga menyayangkan, dalam APBN, Indonesia baru memprioritaskan kebutuhan beras, kedelai, jagung, daging dan gula, namun belum mencakup kebutuhan hortikultura.
“Jangan bicara infrastruktur, bicara hulu aja dulu, sekarang pembatasan atau pengendalian impor tapi sektor hulunya belum diperhatikan. Ini yang kita himbau pemerintah bisa perhatikan,” ujar Adhi, saat ditemui di sela-sela rapat kerja Kementerian Perindustrian, Selasa (12/2).
Meskipun begitu, Adhi mengatakan industri mendapatkan kemudahan dengan tetap diizinkannya impor produk hortikultura untuk bahan baku industri asal mendaatkan rekomendasi kementrian perindustrian. Artinya, Pengaturan impor 13 produk hortikultura yang dikeluarkan kementrian pertanian tidak berlaku bagi industri selama mendapatkan persetujuan dari kementrian perindustrian.
Adhi mengatakan sebagai konsekuensi pengaturan impor hortikultura, pengusaha makanan dan minuman harus ‘lebih repot’ mengurus perizinan impor bahan baku. Sementara, menurut dia, prosedur di kementrian teknis berjalan cukup lambat.
Ia menyebutkan proses perizinan mulai dari rekomendasi impor bahan baku hortikultura oleh Kementrian Perindustrian, proses pemberian Rekomendasi Produk Impor Hortikultura (RPIH) oleh Kementerian Pertanian hingga izin impor oleh kementrian Perdagangan memerlukan waktu sekitar dua hingga tiga pekan.
Ia berharap pemerintah bisa lebih cepat dalam melakukan segala proses tersebut. Pasalnya, proses yang semakin lama, kata dia cukup membutuhkan biaya. Ia mengatakan perbaikan pelayanan untuk perizinan impor tidak masih kalah cepat dibandingkan permintaan yang ada. Ia juga berharap RIPH bisa berlaku jangka panjang sehingga bisa mempercepat birokrasi dan perizinan.
“Mereka lakukan perbaikan tapi kecepatan perbaikan dengan kebutuhan ini kalah cepat,” ujarnya.
Ia mengatakan lamanya proses perizinan itu membuat banyak kontainer yang menumpuk di Bea Cukai. Meskipun penumpukan barang itu tidak membuat produk buah menjadi rusak, namun penumpukan barang ini memaan biaya yang cukup tinggi.
Jika melewati batas 'parkir' selama 14 hari, pengusaha harus membayar biaya tambahan yang umumnya mencapai Rp 1 juta per hari untuk kontainer ukuran 40 feet. Biaya ini, kata dia terpaksa dibebankan kepada konsumen.
Adhi menngatakan, pengusaha pada umumnya senang menggunakan produk hortikultura dari dalam negeri. Sayangnya, produk hortikultura lokal menurut dia sering kali tidak bisa memenuhi jumlah, kualitas dan kontinuitas suplay. Alhasil, kata dia pengusaha terpaksa mengandalkan bahan baku hortikultura impor.