EKBIS.CO, JAKARTA -- Studi kasus swasembada daging sapi menunjukkan kondisi impor daging yang meningkat pesat sejak tahun 2004. Jumlah impor daging dalam kurun waktu 2004-2009 mengalami peningkatan lebih dari lima kali lipat.
Indonesia mengimpor daging sebanyak 11,8 ribu ton pada tahun 2004 dan meningkat menjadi 64,1 ribu ton di 2009. "Terdapat tantangan bagi daging sumber sapi lokal untuk menggantikan posisi daging sumber tersebut," ujar peneliti dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nugroho Ananto saat berdiskusi di kantor KPK, Rabu (20/2).
Penelitian yang sama juga menunjukkan peningkatan permintaan daging sapi di masyarakat. Permintaan ini didorong antara lain oleh peningkatan jumlah kelompok masyarakat menengah dengan pendapatan lebih baik. Kemudian terjadi perubahan pola makan dan aktivitas, terutama di masyarakat perkotaan. Lalu kemampuan masyarakat untuk menyajikan olahan daging pun semakin variatif.
Berdasarkan penelitian Bappenas, penyebab kegagalan swasembada sapi disebabkan multifaktor, mulai dari hulu ke hilir. Dalam pelaksanaannya, rencana swasembada belum mendapat dukungan dana yang memadai.
Selain itu terdapat kelemahan koordinasi antarinstansi, antarsektor dan antarpengemban kepentingan. Padahal, dalam pelaksanaan swasembada, sekurangnya melibatkan 9 kementerian, 3 lembaga dan perbankan. Kementerian Pertanian (Kementan) dalam hal ini berperan sebesar 30 persen dalam mencapai target swasembada. "Secara sistem, tidak bisa hanya mengandalkan Kementan agar target swasembada tercapai," ujar Nugroho.
Kementan, menurut dia, paling berperan terkait perbibitan, pakan, budidaya dan kesehatan. Sedangkan dalam hal perencanaan dan anggaran, peranan terbesar ada pada Bappenas, Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Perekonomian.
Pada sub sistem tata niaga, peranan terbesar dipegang oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian KUKM. Sedangkan sub sistem infrastruktur menuntut peran besar Kementerian Perhubungan, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian.
Jika antara lembaga enggak berkoordinasi, setidaknya ada sinergi yang baik dalam perencanaan dan penganggaran. "Sekarang ini sinergi hampir terputus, indikator pembangunan tidak terpetakan," tambah Nugroho.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian disarankan untuk mengoptimalkan koordinasi dan sinergi lintas sektor dari kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pelaku usaha. Kebijakan swasembada sebaiknya mulai difokuskan untuk penyelenggaran perbibitan, perkembangbiakan, serta pengembangan wilayah peternakan rakyat.