EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjanjikan skema insentif proyek pengembangan gas Blok East Natuna di Kepulauan Riau dengan perkiraan investasi 24 miliar dolar AS (sekitar Rp 230 triliun) rampung pada 2013.
Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro di Jakarta, Kamis (11/4) mengatakan, pemerintah berkepentingan segera menyelesaikan insentif East Natuna, karena merupakan proyek strategis. "Kami usahakan tahun ini sudah ada keputusan," ucapnya.
Menurut dia, saat ini, pihaknya masih mendiskusikan harga gas East Natuna setelah berproduksinya proyek pasca-2023. "Bagaimana profil harga gas 20-30 tahun ke depan. Ini masih diperdebatkan," ujarnya.
Ia menambahkan, kalau harga gas cukup tinggi, maka insentif pembebasan pajak (tax holiday) selama lima tahun tidak diperlukan. Namun, kalau harga lebih rendah mungkin tax holiday memang diperlukan."Harga ini masih dibahas. Mana harga yang bisa dipertanggungjawabkan, sehingga investor bisa memperoleh insentif dan juga keuntungan yang wajar," tuturnya.
Bambang mengatakan, ke depan, apakah harga gas akan dipatok seperti minyak atau tetap fluktuatif. "Ada juga kemungkinan perkembangan teknologi yang membuat harga gas tidak mengacu minyak," katanya.
Kemenkeu menghitung harga gas ke depan bisa lebih dari 15 dolar AS per MMBTU. Sedangkan, konsorsium memakai harga 11 dolar per MMBTU. Sesuai proposal yang diajukan ke pemerintah, konsorsium East Natuna meminta sejumlah insentif agar proyek bisa berjalan. Skema insentif yang belum disepakati tinggal tax holiday.
Sementara, insentif lainnya yang sudah selesai antara lain lama konsesi dari sebelumnya 30 menjadi 50 tahun, besaran bagi hasil 38 persen pemerintah dan 62 persen konsorsium dari biasanya 70:30, first tranche petroleum (FTP) dari sebelumnya 10-20 persen menjadi 0 persen, dan investment credit 150 persen. Permintaan insentif tersebut agar tingkat pengembalian modal (internal rate of return/IRR) sesuai keekonomian proyek yakni 12 persen.
Konsorsium Natuna dipimpin Pertamina bersama tiga mitranya yakni ExxonMobil, Total EP Indonesie, dan PTTEP Thailand. Sebanyak 35 persen hak partisipasi (participating interest/PI) dimiliki Pertamina, lalu Exxon juga 35 persen, dan Total serta PTTEP masing-masing 15 persen.