EKBIS.CO, JAKARTA -- Indonesia mendorong produk-produk ramah lingkungan dan produk yang bisa diperbaharui (renewable) untuk masuk dalam Asia-Pacific Economic Cooperation Environmental Good List (EG List).
"Setelah mengkaji forum pertemuan di Surabaya, kami membicarakan produk yang tidak hanya ramah lingkungan namun juga bisa diperbaharui untuk masuk EG list," kata Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (15/7).
Iman mengatakan, selain ramah lingkungan dan bisa diperbaharui, produk yang akan dimasukkan dalam EG list tersebut juga harus berkontribusi pada pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan. "Kami sudah mendapatkan dukungan dari Peru dan Chile, mereka akan mempelajari proposal tersebut secara positif dan akan menyampaikan pendapat pada Agustus mendatang," ujar Iman.
Iman menjelaskan, untuk tahun 2013, Indonesia akan mengusulkan kepada APEC untuk melakukan kajian dan dialog kebijakan perdagangan untuk produk-produk yang ramah lingkungan dan bisa diperbaharui. "Tahun ini kita tidak akan membicarakan lagi masalah CPO dan karet, dan akan sangat disayangkan apabila keberhasilan Indonesia pada APEC hanya diukur melalui keberhasilan dengan menambah EG list," ungkapnya.
Rencana pemerintah untuk memasukkan produk minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan karet dalam EG list APEC di Surabaya masih terganjal dikarenakan negara-negara maju mengindikasi produk tersebut belum masuk kualifikasi. Produk kelapa sawit Indonesia gagal masuk ke pasar APEC karena dinilai tidak memenuhi standar lingkungan yang ditetapkan oleh badan lingkungan Amerika Serikat atau Environmental Protection Agency (EPA).
Dalam standar yang ditetapkan oleh EPA, yang diumumkan tanggal 28 Januari 2012, standar bahan bakar dari CPO Indonesia masuk dalam kategori RFS (Renewable Fuel Standards) atau standar energi terbarukan. Berdasar pengujian yang dilakukan oleh EPA, produk CPO Indonesia gagal memenuhi standar maksimum 17 persen emisi, karena masih berkisar di angka 20 persen.
Akibat tidak dimasukkan dalam produk yang ramah lingkungan, produk CPO Indonesia gagal mendapatkan keringanan tarif hingga lima persen, dan menyebabkan CPO Indonesia jadi kurang kompetitif di APEC dan dikhawatirkan ekspor CPO menurun.