EKBIS.CO, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai tiga opsi insentif untuk industri padat karya belum tentu cocok. Ketua umum Apindo Sofjan Wanandi mengatakan, opsi insentif industri padat karya seperti pemotongan pajak karyawan dan lain-lain mungkin belum tentu cocok dengan apa yang buruh butuhkan.
Dia menambahkan, kalau pemerintah memberi insentif pajak penghasilan (PPh),belum tentu para buruh merasa itu ada gunanya utk dirinya karena selama ini pajak dibayar perusahaan. “Jadi dia terima upah secara bulat, tidak dipotong-potong,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (15/8).
Sementara dari sisi perusahaan, insentif hanya ada gunanya kalau ada pertimbangan untung rugi. Perusahaan tidak mendapat untung karena tidak membayar pajak, sedangkan kalau rugi tidak dibayar. “Buat kami,kalau mau selamatkan industri padat karya,yang utama itu adalah kepastian kenaikan-kenaikan upah minimum provinsi (UMP),” tuturnya.
Sofjan meminta, seharusnya setiap tahun harus ada ukuran-ukuran yang jelas, tidak bisa karena ukuran politik. Sebab dalam undang-undang (UU) nomor 13 tahun 2003 dijelaskan bukan hanya mengenai hidup layak, tetapi dibicarakan juga produktivitas mereka (buruh). “Jadi itu mesti sama-sama,” kata Sofjan.
Menurutnya, hal itu yang paling penting. Dia beralasan, ongkos buruh di Indonesia sudah tidak kompetitif lagi. Dia mencontohkan, upah di Kamboja sepertiga lebih murah dari upah Indonesia. Begitu juga dengan Bangladesh. “Jadi bagaimana kita bisa kompetitif. Saya pikir mengenai pengupahan itu yang jadi nomor satu,” ujarnya.
Dia menambahkan, kalau tidak ada kepastian upah tersebut, maka pengusaha tidak berani lagi. Dia menegaskan, sebenarnya insentif untuk industri padat karya harus dipikirkan dalam bentuk lain.
Sebelumnya, pemerintah dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) saat ini sedang membahas rumusan insentif untuk industri padat karya. Menteri Perindustrian (Menperin) Indonesia MS Hidayat mengaku,pihaknya menjaga agar tidak ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) industri padat karya.