EKBIS.CO, BANGKOK -- Thailand jatuh ke dalam resesi setelah perekonomian negara tersebut menyusut secara tidak terduga di kuartal kedua 2013. Resesi mengakibatkan baht Thailand merosot ke level terendah tahun ini.
Kontraksi yang terjadi pada produk domestik bruto (PDB) pada April hingga Juni sebesar 0,3 persen mengikuti kejatuhan kuartal pertama sebesar 1,7 persen. Badan Pengembangan Ekonomi dan Sosial Nasional merevisi pertumbuhan ekspansi Thailand dari 4,2-5,2 persen menjadi 3,8-4,3 persen.
Nilai tukar baht atas dolar AS tergelincir 0,9 persen menjadi 31,66 baht per dolar AS, terendah sejak 20 Juni. Baht sempat berada di level terendah sejak Juli 2012, yaitu 31,76 baht per dolar AS sebelum terus tergelincir.
Indeks Thailand SET merosot 2,9 persen pada perdagangan Senin (19/8) waktu setempat menjadi 1.357,66. Pelemahan ini memperpanjang reli pelemahan sejak Desember 2012. Secara umum aksi jual asing mencapai 3,6 miliar baht. Berdasarkan data Bloomberg, nilai ini merupakan yang terbesar dalam enam pekan terakhir.
Sejumlah analis memperkirakan perlambatan pertumbuhan ekonomi masih akan terjadi di semester kedua tahun fiskal 2013. "Pertumbuhan ekonomi Thailand akan melambat di triwulan ketiga bila ekspor masih lemah," ujar Kepala Eksekutif BBL Asset Management Co Voravan Tarapoom, seperti dilansir laman Bloomberg, Selasa (20/8).
Kepala Ekonom RBS Sanjay Mathur mengungkapkan masalah mendasar yang terjadi di Thailand bukan hanya karena ekspor. Permintaan domestik yang lemah juga mendorong terjerumusnya negeri gajah putih tersebut ke jurang resesi. Ditambah lagi kepercayaan bisnis yang memudar membuat nyawa perekonomian Thailand di ujung maut. "Di awal tahun Thailand diharapkan tumbuh lebih maju dari beberapa negara di Asia. Kenyataan yang ada saat ini menjadi kekecewaan besar," ujar Mathur kepada BBC.
Pada akhir 2012 pertumbuhan Thailand telah melebihi harapan. PDB Thailand pada periode Oktober hingga Desember 2012 tumbuh 18,9 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun tingginya utang rumah tangga dan kenaikan harga menimbulkan kekhawatiran pada pertumbuhan di tahun selanjutnya.
Bernard Aw dari Forecast Pte Singapura mengungkapkan selain karena lemahnya permintaan domestik dan ekspor, perlambatan pertumbuhan PDB di kuartal kedua juga disebabkan oleh tekanan dari Bank of Thailand yang memangkas suku bunga acuan menjadi 2,5 persen. Padahal tingginya kredit dan meningkatnya utang rumah tangga mempersempit kesempatan bank sentral untuk menurunkan suku bunga. "Status quo dalam kebijakan merupakan cara terbaik ke depan, terutama ketika bank sentral melihat adanya momentum ekonomi di semester kedua," kata Aw.
Resesi dan pelemahan pertumbuhan ini membuat analis memangkas proyeksi pertumbuhan Thailand. BNP Paribas memangkas proyeksinya dari 4,5 persen menjadi 3 persen.