Rabu 21 Aug 2013 14:30 WIB

'Indonesia Lebih Parah dari Thailand'

Rep: Friska Yolandha/ Red: Nidia Zuraya
Rupiah (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Rupiah (ilustrasi)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Indonesia tidak perlu mengkhawatirkan nasib buruk yang dialami oleh Thailand. Kepala Ekuitas dan Penelitian PT Bahana Securities Harry Su mengungkapkan kondisi Indonesia jauh lebih parah bila dibandingkan dengan Thailand. "Kinerja pasar saham Indonesia jauh lebih parah bila dibandingkan dengan Thailand," ujar Harry kepada ROL, Rabu (21/8).

Berdasarkan data yang dihimpun, penurunan harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai 14,1 persen bila dikonversi ke dolar AS. Meskipun melemah, indeks Thailand masih lebih beruntung, yaitu hanya melemah 5,2 persen. Hal serupa juga terjadi pada pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS. Nilai tukar baht terhadap dolar AS turun 3,4 persen, sedangkan rupiah tergelincir 10,1 persen.

Bila dilihat dari price earning (PE), Indonesia juga jauh lebih tinggi dari Thailand, yaitu 16,6 kali dibandingkan 12,9 kali. Harry mengatakan, tingginya PE membuat valuasi lebih mahal. Bagi investor, valuasi merupakan sesuatu yang penting. Semakin tinggi valuasi, investor cenderung keluar dan melakukan aksi ambil untung.

Harry mengungkapkan yang harus dikhawatirkan justru India. Pasalnya perlambatan ekonomi di India sudah sangat tinggi. Rupee India jatuh 16,3 persen terhadap dolar AS dan indeksnya meluncur ke zona merah sebesar 22,2 persen. "Yang dikhawatirkan apakah (Indonesia) akan seperti India," ujar Harry.

India memiliki sejumlah kemiripan dengan Indonesia, yaitu defisit neraca berjalan yang parah. Pemerintah India bahkan memberlakukan pajak terhadap impor emas. Ini dilakukan untuk memperbaiki defisit neraca berjalan. Langkah positif dari pemerintah India diharapkan akan membantu memberi sentimen positif terhadap negara-negara berkembang lain.

Dengan kondisi seperti ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan melemah dari 6,2 persen pada 2012 ke 5,9 persen di akhir 2013. Namun Harry meyakini di 2014 Indonesia bisa kembali tumbuh 6 persen.

Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengungkapkan melihat kondisi yang terjadi saat ini, Indonesia bisa dikatakan mengalami resesi secara teknikal. Resesi teknikal bukan berarti negatif karena pertumbuhan tetap tinggi.

Yang bisa disarankan, pemerintah dapat melakukan eksekusi kerja sama. Budi menyebutkan pemerintah pernah melakukan Swap Bilateral Agreement pada krisis 1998 dengan negara seperti Jepang, Cina dan Korea. "Mereka suka memberikan pinjaman kepada Indonesia karena mendapat return lebih bagus daripada menempatkan dana di instrumen lain," ujar Budi.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement