EKBIS.CO, JAKARTA – Bukan kali pertama, krisis ekonomi melanda Indonesia. Setidaknya pada 1998 dan 2008 pernah terjadi krisis yang hampir serupa. Di 2013 ini, hal serupa pun terjadi.
Staf khusus presiden bidang ekonomi dan pembangunan, Firmanzah mengatakan sejak krisis melanda, Indonesia sudah berbenah. Setidaknya ada empat reformasi struktural yang telah dan sedang dilakukan sehingga bisa bertahan di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.
Pertama, pascakrisis ekonomi 1998, Indonesia menjalankan kebijakan baik fiskal maupun moneter yang mengedepankan macroprudential. “Defisit APBN terhadap PDB di jaga dalam rentan yang aman yaitu di bawah 3 persen. Selain itu, proporsi hutang/PDB juga terus diturunkan dari 56,6 persen pada tahun 2004, menjadi 28,4 persen pada 2009. Saat ini proporsi ini dapat terus ditekan dalam kisaran 24 persen,” paparnya, Senin (9/9).
Selain itu, lanjut Firmanzah, pemberian stimulus fiskal selama krisis ekonomi dunia 2008 juga sangat terukur dan sesuai dengan kemampuan negara. Sementara itu kebijakan moneter juga terus mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan cadangan devisa, penetapan tingkat suku bunga acuan, dan intervensi terukur dalam pengelolaan nilai tukar mata uang rupiah.
Reformasi struktural kedua, lanjutnya, adalah diimplementasikan strategi keep-buying policies yang dilakukan sejak 2004. Strategi ini telah memperkuat struktur pasar domestik. Ketersediaan permintaan dari sisi pasar yang memadai menjadi stimulus bagi bergeraknya dunia usaha di Indonesia.
“Pelaku dunia usaha di Indonesia menikmati excess-demand yang sangat besar. Hal ini mempercepat pemulihan kinerja usaha baik BUMN, swasta nasional, koperasi dan sektor UMKM di Indonesia. Apalagi saat ini kita memiliki actor ekonomi yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan pasca krisis 1998,” jelas Firmanzah.
Reformasi struktural ketiga, dilakukan melalui percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Ia menyebutkan, melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang diluncurkan pada 2011 menandai orientasi Indonesia untuk lebih menyeimbangkan sisi produksi (supply-side). Sejumlah proyek pembangunan infrastruktur dan sektor riil dipercepat pembangunannya untuk meningkatkan konektivitas serta efisiensi jaring produksi nasional.
“Percepatan pembangunan infrastruktur energi, transportasi, fasilitas produksi, serta sarana dan prasarana lainnya telah menjadikan Indonesia sebagai negara berorientasi investasi (investment-oriented country),” kata Firmanzah sembari menambahkan, mobilisasi partisipasi baik melalui anggaran APBN, BUMN serta Swasta dilakukan untuk bersama-sama mengakselerasi pembangunan di enam koridor ekonomi.
Keempat adalah upaya untuk melakukan perbaikan dari sisi doing-business di Indonesia. Upaya ini dilakukan melalui penataan sistem dan budaya kerja baik di tingkat pusat maupun daerah untuk terus mengurangi ekonomi biaya tinggi (high cost economy) melalui serangkaian program nasional dari mulai reformasi birokrasi, konsistensi dalam pemberantasan korupsi, perbaikan dan penyederhanaan regulasi-prosedur investasi, program Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), sampai dengan otomatisasi pelayanan publik.
“Keempat reformasi struktural yang secara konsisten kita lakukan selama ini meskipun belum sepenuhnya tuntas, namun telah membuahkan hasil positif,” jelas Firmanzah.