EKBIS.CO, JAKARTA -- Kamar Dagang Indonesia (Kadin) menolak besaran bea keluar (BK) antara 20-60 persen yang diberlakukan pada 2014-2017. Pasalnya, hal tersebut dinilai memberatkan, merugikan, dan irasional.
Ketua Satgas Hilirisasi Mineral Kadin Didie W Soewondho mengatakan, dengan dikeluarkannya PerMenkeu no 6 tahun 2014 tentang BK, maka kesempatan ekspor produk pengolahan yang telah diatur dalam PP no 1 tahun 2014 dan PerMen ESDM no 1 tahun 2014 tidak dapat dijalankan karena sejumlah alasan. Pertama, penetapan besaran BK sebesar 20-60 persen sangat memberatkan dan merugikan pelaku usaha. Kedua, besaran BK melebihi profit margin perusahaan dengan berbagai beban formal dan nonformal.
''Sangat disayangkan menurut hemat kami penetapan besaran bea keluar tersebut, tidak memperhatikan struktur biaya dalam proses pengolahan sehingga mengakibatkan operasi tambang berhenti total,'' ujar dia.
Menurut Didie, pemerintah dalam penyusunan peraturan menteri keuangan (PMK) no 6 tahun 2014 tidak memerhatikan azas-azas, kejelasan tujuan, keterbukaan, dan dapat dilaksanakan. ''Seperti yang diatur dalam UU no 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana diubah dengan UU No 17 tahun 2006,'' kata dia, Rabu (5/2).
Pihaknya, ujar Didie, meminta pemerintah untuk meninjau kembali besaran BK dengan berbagai pertimbangan. Pertama, memerhatikan struktur biaya dan profit margin perusahaan tambang. Kedua, memahami proses, teknologi, pengusahaan, dan kapitalisasi industri tambang. Ketiga, menganalisa beban pajak dan nonpajak yang masih tumpang tindih masih adanya ekonomi biaya tinggi, masih banyaknya beban-beban pungutan liar dan korupsi secara komprehensif.
Pemberlakuan PMK No 6 tahun 2014, menurut dia, menimbulkan tantangan yang luar biasa besar. Di antaranya, jutaan pemutusan hubungan kerja (PHK), penurunan hingga triliunan rupiah penerimaan negara dan daerah, dan memburuknya neraca perdagangan dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Kadin, kata Didie, meminta pemerintah untuk meneruskan dan menyempurnakan konsep batas minimum untuk ekspor yang telah diluncurkan pemerintah melalui PP No 1 tahun 2014 dan Permen ESDM no 1 tahun 2014, yang telah diyakini industri tambang sebagai solusi untuk menyelesaikan kegagalan rencana hilirisasi mineral di dalam negeri dan dapat memperbaiki iklim investasi di sektor tambang.
Pemerintah diminta untuk memberi kesempatan berdiskusi dengan pengusaha. Semangatnya, mewujudkan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian secepatnya (smelter). Kadin meminta Presiden RI atas perhatian dan dikungannya, agar pembangunan smelter di Indonesia dapat segera terwujud.