Senin 03 Mar 2014 22:27 WIB

Industri Migas Ditantang Kejar Target Produksi 2014

Red: Julkifli Marbun
 Pekerja memeriksa terminal pipa distribusi Bahan Bakar Minyak di Terminal Pompa BBM di Terminal BBM, Tanjung Uban, Kepulauan Riau, Rabu (12/2). (Republika/Prayogi)
Pekerja memeriksa terminal pipa distribusi Bahan Bakar Minyak di Terminal Pompa BBM di Terminal BBM, Tanjung Uban, Kepulauan Riau, Rabu (12/2). (Republika/Prayogi)

EKBIS.CO, SURABAYA -- Kinerja produksi atau lifting minyak dan gas bumi nasional selama tahun 2013 kurang memuaskan bagi pemerintah, tetapi tantangan berat kembali harus dihadapi sektor migas pada 2014.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat pencapaian produksi migas berada di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013.

Dari target APBN-P 2013 sebesar 840.000 barel per hari (BOPD), realisasi produksi minyak hingga per 31 Desember 2013 hanya terpenuhi 825.000 BOPD atau 98,3 persen dari target.

Begitu juga pencapaian lifting gas bumi hanya terealisasi 1.218.000 BOEPD atau sekitar 98,4 persen dari target yang ditetapkan sebesar 1.240.000 BOEPD.

Tidak terpenuhi produksi migas tersebut membuat penerimaan negara dari sektor migas juga tidak maksimal, kendati hanya terpaut tipis, yakni dari target 31,7 miliar dolar AS, terpenuhi 31,4 miliar dolar AS.

"Banyak kendala yang dihadapi utamanya pembebasan lahan dan pengadaan serta faktor cuaca," kata Pelaksana Tugas Kepala SKK Migas Johanes Widjonarko saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Senin (17/2).

Ia menambahkan hampir 19.000 BOPD potensi produksi minyak yang hilang akibat berbagai kendala yang terjadi selama 2013.

Potensi produksi yang tidak terealisasi akibat masalah operasional, antara lain kendala teknis di lapangan (opportunity lost 1.000 BOPD), penundaan dalam kegiatan lifting dengan total 47 kejadian terutama masalah dengan kapal (1.400 BOPD), keterlambatan pengadaan fasilitas dan peralatan produksi (2.500 BOPD), kendala perizinan di lapangan (800 BOPD).

"Selain itu, gangguan pencurian dan keamanan serta 'illegal tapping' yang mencapai sekitar 2.100 kejadian di tahun 2013 dengan opportunity lost 1.100 BOPD," jelasnya.

Kendala lainnya, terdapat empat proyek di hulu migas yang mengalami kemunduran jadwal "onstream" yakni Blok Karang, Lapangan Gundih, Tarakan Offshore, dan Lapangan NDD-13.

Ditambah kendala "subsurface" akibat terjadinya penurunan alamiah di lapangan eksisting yang rata-rata mencapai 4,1 persen dan 16-00 kejadian yang menyebabkan "unplanned shutdown".

Kendati produksi migas sepanjang 2013 kurang memuaskan, pemerintah agaknya tetap berharap sektor strategis ini bisa segera bangkit dalam upaya memenuhi kebutuhan nasional dan menambah pundi-pundi penerimaan negara.

Oleh karena itu, dalam APBN 2014, pemerintah menargetkan produksi minyak bisa mencapai 870.000 BOPD dan gas bumi 7.175 juta British thermal unit per hari (bBtud).

Jumlah itu setara 2.110.000 barel ekuivalen minyak per hari dan target penerimaan negara dari penjualan migas sebanyak 30,6 miliar dolar AS.

Target produksi migas dari pemerintah tersebut lebih tinggi dibanding hasil pembahasan program kerja dan anggaran (WP&B) 2014 yang disusun SKK Migas, yang memperkirakan lifting minyak sebesar 804.000 BOPD dan gas bumi 6.853 bBtud.

"Gap (selisih) target produksi dan WP&B ini menjadi tantangan industri migas pada tahun 2014," tambah Widjonarko.

Untuk menjawab tantangan tersebut, SKK Migas menyiapkan beberapa langkah strategis, pertama mengatasi berbagai gangguan operasi dengan mengurangi kegagalan operasi produksi dan pengeboran agar mendapat tambahan produksi, serta fasilitasi penyelesaian masalah proyek.

Langkah kedua, mengurangi penghentian produksi yang tidak direncanakan (unplanned shutdown) melalui evaluasi detail atas rencana pemeliharaan fasilitas produksi dan meningkatkan pengawasan fasilitas produksi.

Selain itu, mengatasi "decline rate" yang tajam dengan memastikan jadwal pengeboran sumur pengembangan tepat waktu dan optimalisasi proses pengembangan.

Upaya berikutnya, mengatasi kendala pembebasan lahan dan perizinan, dalam hal ini SKK Migas akan terlibat langsung dalam proses pembebasan lahan, jadwal pembebasan lahan diupayakan tepat waktu, serta mengupayakan dan mendorong terus penyelesaian "Service Level Agreement" terkait perizinan.

Terakhir, SKK Migas berupaya mengatasi kendala pengadaan dengan pemutakhiran proses bisnis dalam proses pengadaan dan meningkatkan akuntabilitas dan tata kelola yang baik.

"Jika langkah-langkah tersebut berjalan baik, ditambah upaya kontraktor mengoptimalkan produksi minyak di sejumlah lapangan, mudah-mudahan produksi minyak berada pada kisaran 830.000-840.000 barel per hari," papar Widjonarko.

Dukung Peningkatan Produksi

Pertamina Hulu Energi sebagai salah satu kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang mengelola blok West Madura Offshore merupakan salah satu operator yang siap mendukung upaya peningkatan produksi migas tersebut.

General Manager PHE WMO Boyke Pardede mengungkapkan pihaknya mendapatkan beban dari SKK Migas untuk menaikkan produksi minyak dari rata-rata 18.070 BOPD pada 2013, menjadi 23.076 BOPD untuk tahun ini dan gas bumi 112 MMSCFD.

"Untuk mengejar target produksi tersebut, kami sudah menyiapkan beberapa program dan strategi," kata Boyke pada diskusi industri migas nasional di Surabaya, pekan lalu.

Selain mengoptimalkan eksplorasi sumur migas eksisting hingga mencapai produksi maksimal, termasuk dengan penerapan teknologi EOR/IOR, lanjut Boyke, pihaknya juga terus berupaya melakukan pengembangan lapangan migas secara terintegrasi.

Dalam rencana pengembangan (POD), anak perusahaan PT Pertamina (Persero) itu telah mendapatkan persetujuan dari SKK Migas untuk membangun enam anjungan sumur baru pada lapangan migas terintegrasi di Blok WMO, yakni PHE-6/12, 7, 24, 29, 44, dan 48.

"Jika proses tender dan pembangunan anjungan berjalan sesuai rencana, kami harapkan pada 2015 sudah bisa beroperasi untuk menambah produksi minyak dan gas bumi," katanya.

Sejak mengakuisisi Blok WMO dari Kodeco Ltd pada Mei 2011, produksi minyak dan gas yang dihasilkan PHE WMO terus mengalami peningkatan cukup signifikan.

Bahkan, produksi puncak pernah mencapai sekitar 26.226 BOPD pada awal Agustus 2013, kendati secara rata-rata produksi tahun tersebut masih 18.070 BOPD dan gas bumi 114,5 MMSCFD.

"Produksi minyak tersebut sudah jauh lebih meningkat dibanding tahun 2012 yang rata-rata masih sekitar 11.471 BOPD. Semua itu berkat kerja keras dalam percepatan eksplorasi," tambah Boyke Pardede.

Pada diskusi tersebut, Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Ali Mundakir menambahkan upaya percepatan eksloprasi menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan produksi migas dalam negeri dan menekan ketergantungan impor minyak.

Dengan produksi minyak yang hanya 825.000 BOPD, sementara kebutuhan dalam negeri mencapai sekitar 1,3 juta BOPD, Indonesia terpaksa harus mengimpor kekurangan pasokan dari negara lain.

"Pertamina memang sudah mulai ekspansi dengan mengakusisi sejumlah blok migas di negara lain, seperti di Aljazair dan Irak. Namun, Pertamina tetap berkomitmen untuk menjadikan produksi dalam negeri sebagai tulang punggung energi nasional," ujarnya.

Menurut Ali Mundakir, cadangan minyak dan gas Indonesia sebenarnya masih cukup besar, tetapi lokasinya sudah semakin sulit untuk dieksplorasi karena sebagian besar berada di laut dalam.

Posisi cadangan minyak Indonesia saat ini sekitar 3,7 miliar barel, dengan cadangan potensial (harus dibuktikan dengan eksplorasi) mencapai 43,7 miliar barel.

"Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi cadangan migas cukup besar, seperti Blok Cepu (Bojonegoro), Blok Sukowati (Tuban), dan Blok WMO (Madura), yang bisa menjadi penyokong produksi nasional," tambahnya.

Akan tetapi, upaya peningkatan produksi migas itu tidak akan membuahkan hasil maksimal jika tidak didukung oleh kebijakan energi yang kuat dari pemerintah.

Wakil Menteri ESDM Susilo Siswo Utomo dalam kesempatan terpisah, mengakui selain eksplorasi, percepatan perizinan menjadi sesuatu yang sangat mendesak direalisasikan, mengingat konsumsi bahan bakar minyak yang terus meningkat dan diperkirakan bisa mencapai 1,5 juta BOPD.

Perizinan menjadi satu dari beberapa kendala utama yang sering dihadapi industri migas di lapangan, khususnya untuk kegiatan operasional di darat (onshore), selain penyediaan lahan dan masalah sosial.

"Kalau izin masih ruwet seperti sekarang, mau digenjot mati-matian, mau nangis, istigasah atau bahkan KKKS migas kerja 24 jam pun, tak akan mampu memenuhi target lifting minyak," tegas Susilo.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement