EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) belum berencana melanjutkan program Gerakan Nasional Kakao tahun ini. Tetapi, pemerintah daerah diminta melanjutkan program ini di wilayah masing-masing.
Direktur Tanaman Rempah dan Penyegar Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan, Azwar Abubakar mengatakan hasil Gernas berkontribusi sebanyak 200 ribu ton dari total produksi tahun lalu sebesar 740.513 ribu ton. Tingkat produktivitas kakai mencapai 802 kilogram per hektare per tahun. "Desain awal Gernas kakao memang untuk dilanjutkan pemda," katanya ditemui di Kementan, Rabu (2/4).
Dalam program gernas, pusat hanya menyediakan bibit untuk kebutuhan produksi. Selain itu ia meminta daerah untuk mengawasi sertifikasi lahan kakao. Padahal sertifikasi ini diharapakan menjadi agunan keberlanjutan produksi.
Sejumlah daerah bersama stakeholder dikatakan meminta gernas dilanjutkan pemerintah pusat. Misalnya Sualwesi Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Namun pemerintah pusat sulit memenuhi permintaan ini karena keterbatasan APBN."Kami khawatir dengan program gernas yang sudah dilakukan. Kecendrungannya daerah meminta terus," katanya.
Sebelumnya Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Sindra Wijaya meminta pemerintah serius membenahi sektor perkebunan kakao. Apalagi setelah belasan pabrik kakao kelas dunia membangun usahanya di Indonesia. Sebut saja Guanching Cocoa (Malaysia), JB Cocoa (Malaysia), Barry-Comextra (Swiss) dan Cargill Cocoa (USA). Kehadiran pabrik-pabrik ini akan menyerap produksi kakao lokal besar-besaran sehingga tidak tersisa untuk ekspor.
Menanggapi hal ini, Azwar meminta perusahaan membantu para petani dengan membangun pola kemitraan atau sebagai tanggung jawab sosial petusahaan (Coorporate Social Responsibility/CSR). Dengan demikian diharapkan petani memiliki bekal pengetahuan yang cukup untuk meningkatkan produksi.
Sebagian besar perkebunan kakao merupakan milik rakyat. Meskipun dari sisi produksi melimpah, namun produk kakao Indonesia namun dari segi mutu bukan unggulan. Padahal dari sisi permintaan, ada peluang perluasan pasar global. Setiap tahun permintaan kakao dunia diperkirakan tumbuh 2 hingga 4 persen atau sekitar 80 ribu hingga 160 ribu ton per tahun.
Kementan menyambut peluang ini dengan menerapkan strategi perluasan lahan, pembenihan, infrastruktur dan sarana, Sumber daya Manusia (SDM), pembiayaan, kelembagaan petani dan revitalisasi teknologi dan industri hilir. Selain itu masih diperlukan pengembangan pasar di dalam negeri, ketersedidan peneliti dan tenaga ahli, dan teknologi budidaya.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) berencana menghapus Bea Masuk (BM) kakao. Bea masuk yang awalnya ditetapkan 5 persen dihapuskan menjadi 0 persne. Alasannya, pasokan dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutuhan industri. "Bea masuk itu kalo nol maka harga di petani akan anjlok," ujar Direktur Jenderal Perkebunan Gamal Nasir.
Untuk itu Gamal meminta agar rencana ini dipertimbangkan lagi. Apalagi tahun depan Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (Asean Economy Community/AEC). Jika penghapusan pajak impor dilakukan, khawatir harga di tingkat petani semakin merosot. Harga biji kakao di dalam negeri sekitar Rp 20 ribu hingga Rp 22 ribu per kilogram.