Selasa 28 Oct 2014 15:19 WIB

Sering Dipakai untuk Suap, PPATK Minta Uang ini Ditarik dari Peredaran

Rep: Budi Raharjo/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
Petugas KPK menunjukan barang bukti uang dalam pecahan Rupiah dan Dolar Singapura hasil operasi tangkap tangan Gubernur Riau Annas Maamun di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/9).(Republika/ Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Petugas KPK menunjukan barang bukti uang dalam pecahan Rupiah dan Dolar Singapura hasil operasi tangkap tangan Gubernur Riau Annas Maamun di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/9).(Republika/ Wihdan)

EKBIS.CO, YOGYAKARTA -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meminta otoritas bank sentral Singapura untuk menarik peredaran uang dolar Singapura pecahan 10 ribu. Permintaan itu telah disampaikan PPATK saat bertemu pimpinan bank sentral Singapura dan PPATK Singapura bulan lalu.

Deputi Direktur Pengawasan Kepatuhan PPATK Tjahyadi Prastono mengatakan otoritas keuangan Singapura merespons baik permintaan itu. Mereka berjanji akan menarik peredaran uang dolar Singapura dengan nominal terbesar itu dari Indonesia. "Secara bertahap peredarannya akan ditarik," ujar Tjahyadi di sela sosialisasi kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA) nonbank yang dihelat Bank Indonesia di Yogyakarta, Selasa (28/10).

Tjahyadi tak menyangkal alasan permintaan penarikan itu karena uang pecahan 10 ribu dolar Singapura ini kerap disalahgunakan. Uang pecahan 10 ribu dolar Singapura kerap digunakan untuk tindak kejahatan seperti kasus penyuapan. Uang dengan nilai besar itu pun mengundang kejahatan pemalsuan uang dengan telah ditemukan sejumlah kasusnya.

PPATK tidak mengetahui berapa besar uang pecahan 10 ribu dolar Singapura yang beredar di Tanah Air. Tjahyadi mengatakan lembaganya sulit untuk mendeteksi jumlah fisik uang tersebut yang beredar. "Sebenarnya, uang 10 ribu dolar Singapura ini juga tidak beredar di Singapura, hanya di Indonesia saja," kata dia.

Dengan kurs sekitar Rp 8.000 per dolar Singapura, pecahan 10 ribu dolar Singapura setara dengan Rp 80 juta. Sementara, BI menggelar acara sosialisasi terkait dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 16/15/PBI/2014 tentang KUPVA pada pertengahan September lalu.

Kepala Kantor Perwakilan BI di DIY Arief Budi Santoso menjelaskan PBI diterbitkan untuk memberikan kewenangan kepada bank sentral untuk mengatur semua KUPVA atau yang dikenal sebagai money changer. Semua usaha penukaran valuta asing kini memerlukan izin dari BI. "PBI ini juga bertujuan untuk memurnikan KUPVA dari kegiatan transfer dana," ujar dia.

Arief mengatakan PBI dikeluarkan untuk menciptakan tata kelola yang baik dan mencegah KUPVA sebagai sarana pencucian uang serta pendanaan teroris. Setiap money changer yang belum memiliki izin, kini wajib memperoleh izin dari BI paling lambat 1 Januari 2015. Bila aturan ini dilanggar, BI akan merekomendasikan kepada otoritas berwenang untuk mencabut izin usaha atau menghentikan kegiatan usaha.

Bank sentral mencatat 914 KUPVA yang telah memiliki izin di seluruh Indonesia. Perinciannya, 349 KUPVA di Jakarta, Denpasar 122, Batam 122, Medan 49, dan Banten 44. Selebihnya menyebar di 28 kantor perwakilan BI. Adapun di Jateng dan DIY terdapat 39 KUPVA.

Sampai Agustus 2014, BI mencatat pembelian uang kertas asing dan travel cek melalui KUPVA mencapai Rp 7,94 triliun per bulan. Setiap tahun, transaksinya meningkat. Pada 2013, transaksinya senilai Rp 7,83 triliun dan 2012 sebesar Rp 5,9 triliun per bulan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement