Senin 10 Nov 2014 14:59 WIB

Negara Pegang Kendali Kontrak Hulu Migas

Red: Taufik Rachman
Sebuah anjungan minyak lepas pantai beroperasi di Selat Malaka, di ProvinsiRiau
Sebuah anjungan minyak lepas pantai beroperasi di Selat Malaka, di ProvinsiRiau

EKBIS.CO, JAKARTA-- Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (Mi-gas) Indonesia dijalankan berdasarkan kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC). Skema ini mengoptimalkan penerimaan negara sekaligus melindungi dari paparan risiko tinggi, terutama pada fase eksplorasi.

Bisnis hulu migas memiliki empat karakter utama. Pertama, penda-patan baru diterima bertahun-tahun setelah pengeluaran direalisasikan. Kedua, bisnis ini memiliki risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih.

Ketiga, usaha hulu migas memerlukan investasi yang sangat besar. Namun, di balik semua risiko tersebut, industri ini memiliki karakter keempat, yaitu menjanjikan keun-tungan yang sangat besar. Idealnya, kontrak yang digunakan adalah yang mampu menyiasati tantangan dan meraih peluang dari empat karakter tersebut.

Sebelum PSC, Indonesia sempat menganut dua model bisnis, yaitu konsesi dan kontrak karya. Rezim konsesi dianut Indonesia pada era kolonial Belanda hingga awal kemer-dekaan. Karakteristiknya, semua hasil produksi dalam wilayah konsesi dimiliki oleh perusahaan. Negara dalam sistem ini hanya menerima royalti yang secara umum berupa persentase dari pendapatan bruto dan pajak. Keterlibatan negara sangat terbatas.

Rezim kontrak karya berlaku saat Indonesia menerapkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Regulasi ini mengatur bahwa sumber daya migas adalah milik negara.

Status perusahaan diturunkan dari pemegang konsesi menjadi kontraktor negara. Pada sistem ini, negara dan perusahaan berbagi hasil penjualan migas. Meskipun perusahaan tidak lagi menjadi pemegang konsesi, kendali manajemen masih berada di tangan mereka. Peran pemerintah terbatas pada kapasitas pengawasan.

Model Usaha Tani

Skema PSC pertama kali berlaku pada 1966 saat Permina —perusahaan negara yang mengurusi soal migas sebelum berganti nama PT Pertamina (Persero)— menandata-ngani kontrak bagi hasil dengan Independence Indonesian American Oil Company (IIAPC0).

Kontrak ini tercatat sebagai PSC pertama dalam sejarah industri mi-gas dunia. Penerapan PSC di Indone-sia dilatarbelakangi oleh keinginan supaya negara berperan lebih besar dengan mempunyai kewenangan ma-najemen kegiatan usaha hulu migas. PSC dapat diibaratkan dengan model usaha petani penggarap yang banyak dipraktikkan di nusantara.

Pemerintah adalah pemilik sawah' yang meng-amanatkan pengelolaan lahan kepada petani penggarap'. Dalam konteks bisnis di sektor hulu migas, petani penggarap ini adalah perusahaan migas, baik nasional maupun asing. Penggarap ini menyediakan semua modal dan alat yang dibutuhkan.

Semua pengeluaran ini tentunya harus disetujui pemilik sawah karena modal tersebut akan dikembalikan kelak saat panen. Penggantian ini, yang dalam dunia migas dikenal de-ngan istilah cost recovery, hanya di-lakukan jika panen' tersebut ber-hasil. Dengan kata lain, penggantian baru diberikan setelah ada temuan cadangan migas yang bisa dikembangkan secara komersial atau tambang migas sudah memberikan hasil nyata.

Jika tidak, semua biaya ditanggung sepenuhnya oleh penggarap (kon-traktor migas). Saat panen' tiba, pro-duksi akan dikurangkan terlebih dahulu dengan modal yang harus dikembalikan, baru kemudian dibagi antara pemilik sawah dengan peng-garap sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak.

Demikianlah PSC bekerja. Dengan pola ini, negara bisa memanfaatkan anugerah sumber daya migas karena modal dan teknologi disediakan oleh investor. Di sisi lain, negara tidak terpapar risiko kegagalan eksplorasi karena biaya modal dalam kondisi tersebut tidak diganti dalam skema cost recovery.

Pemerintah sebagai perwakilan negara juga memiliki kontrol baik atas manajemen operasional maupun ke-pemilikan sumber daya migas. Negara tetap memegang kendali penuh atas keseluruhan proses yang termaktub dalam kontrak karya. Manajemen operasional hulu migas dipegang oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau SKK Migas sebagai perwakilan pemerintah dalam PSC. Dengan adanya institusi ini, kendali atas bisnis hulu migas sepenuhnya berada di tangan negara.

Di sisi lain, PSC juga mengatur bahwa sumber daya migas tetap milik negara sampai titik serah. Ber-beda dengan kontrak karya yang membagi hasil penjualan migas, dalam sistem PSC yang dibagi adalah produksi. Selama sumber daya migas masih berada dalam wilayah kerja pertambangan atau belum lepas dari titik penjualan, yaitu titik penyerahan barang, maka sumber daya alam migas tersebut masih menjadi milik Pemerintah Indonesia.

PSC sampai saat ini masih dipercaya sebagai model paling ideal untuk Indonesia. Sistem ini men-jamin penguasaan negara atas sumber daya migas sekaligus melindungi negara dari tingkat risiko dan keti-dakpastian yang tinggi dalam bisnis hulu migas. ADV

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement