EKBIS.CO, JAKARTA--Mendekati Masyarakat Ekonomi Syariah (MEA) 2015 dan integrasi perbankan ASEAN 2020, bank-bank syariah harus meningkatkan kesiapan mereka.
Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perbankan I Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mulya E Siregar mengungkapkan belum ada bank syariah nasional yang siap menghadapi MEA. Karena itu OJK meminta mereka untuk menyiapkan diri dengan menambah modal, memperbaiki infrastruktur dan meningkatkan efisiensi.
Efisiensi BOPO bank syariah Indonesia masih tinggi dengan BOPO 70 persen sementara negara lain di ASEAN sekitar 65 persen. Remunerasi Indonesia juga paling tinggi. Jika biaya operasional tenaga kerja, biaya pegawai Indonesia nomor lima tapi untuk direksi nomor pertama di ASEAN.
Dalam komitmen Indonesia sebagai anggota G20, Indonesia belum mengatur remunerasi direksi. Bukan membatasi kuantitatif tapi cara menghitungnya. Dari sana diharapkan ada efisensi lebih baik.
Remunerasi akhirnya diatur G20 karena dilatarbelakangi penempatan dana usaha di instrumen berisiko tinggi agar direksi mendapat bonus tinggi yang malah kolaps, salah satu contohnya Lehmans.
''Latar belakangan itu berbeda dengan Indonesia dan ambil mentah-mentah. Indonesia harus lihat penyebabnya sehingga pengaturannya pun akan sedikit berbeda,'' kata Mulya di usai membuka Ijtima' Sanawi Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia, Selasa (16/12).
Regulasi Indonesia pun memang terbuka. Tapi itu karena krisis 1997-1998 dan Indonesia sangat butuh dana, sehingga aturannya dibuat seperti itu.
''BI pun mengikuti itu sehingga 'pagar' Indonesia jadi lebih rendah dari negara tetangga karena kebutuhannya berbeda,'' kata Mulya.
Kebutuhan GDP Indonesia sekitar 880 juta dolar AS sementara negara ASEAN lain hanya sekitar 200 juta dolar AS membuat Indonesia memang mengundang perbankan asing ASEAN masuk.
Tapi, kata Mulya, Indonesia sulit masuk ke negara ASEAN lain karena 'pagar' mereka lebih tinggi. Jika ingin melakukan integrasi di MEA, satu-satunya acaranya adalah mereka harus menurunkan 'pagar'.