EKBIS.CO, BANDUNG -- Prinsip dasar ekonomi Islam dalam bentuk bisnis berorientasi Islami tak bisa dipungkiri berbeda jauh dengan bisnis konvensional.
"Ada perbedaan mendasar antara bisnis konvensional dengan Islamic business. Yakni, terkait kebutuhan," ujar social entrepreneur sekaligus tokoh filantropi Islam Erie Sudewo, Rabu (25/3).
Erie menjelaskan, kebutuhan dalam bisnis konvensional sifatnya tidak terbatas. Maksudnya, selama ada permintaan, maka bisnis konvensional akan menyediakan permintaan tersebut tanpa memikirkan dampak ke depannya.
Sebagai contoh, jika ada permintaan minuman keras, bisnis konvensional akan menyediakannya untuk pasar.
Hal tersebut tidak dapat diterapkan dalam bisnis Islami. Bisnis Islami memiliki kebutuhan yang sifatnya terbatas.
Dalam hal ini, ketika ada permintaan atas suatu kebutuhan, pelaku bisnis Islami harus bisa memilah untuk mencegah dampak yang buruk. Kreativitas berbisnis secara Islami, lanjut Erie, harus dimanfaatkan dan diarahkan kepada hal-hal yang halal dan memberi kemaslahatan.
Kemunculan social business belakangan ini pun menjadi kabar gembira bagi Erie. Pasalnya, bisnis sosial kerap bertindak dan menggugat produk yang bermasalah. Selain itu, bisnis sosial juga mengkritisi dampak ke depan dari suatu produk yang dipasarkan.
Landasan bisnis dari bisnis sosial dan bisnis Islami juga saling berkaitan. Erie menjelaskan bisnis sosial dijalankan dengan berlandaskan kemanusiaan.
Di sisi lain, bisnis Islami berjalan dengan landasan rukun Islam yang ketiga, yaitu zakat. Zakat, seperti diketahui, pemanfaatannya selalu disalurkan untuk kebaikan umat dan menyantuni yang membutuhkan.
Karena itu, Erie mendorong agar para pelaku bisnis Muslim tidak melupakan esensi-esensi tersebut. Selain itu, ia juga mendorong agar tiap pelaku usaha Muslim dapat memberi kemaslahatan melalui bisnisnya, sekaligus meraih kerihdahaan Allah.
"Bisnis konvensional tujuannya profit, bisnis sosial tujuannya benefit. Sedangkan bisnis Islami, tujuannya tidak hanya benefit tetapi juga keridhaan Allah," ujar Erie.