Jumat 01 May 2015 20:25 WIB

Meski Subsidi Dihapus, Penurunan Harga Minyak Tetap Memukul Fiskal

Rep: C85/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang petugas melayani penjualan bahan bakan minyak (BBM) di salah satu SPBU Kawasan Grogol, Jakarta, Selasa (28/4)
Foto: Republika/Prayogi
Seorang petugas melayani penjualan bahan bakan minyak (BBM) di salah satu SPBU Kawasan Grogol, Jakarta, Selasa (28/4)

EKBIS.CO, JAKARTA - Sejak tahun lalu, pemerintah telah menghapuskan subsidi untuk premium. Dengan demikian ruang fiskal pemerintah semakin longgar, dan target pembangunan bisa dilakukan. Hanya saja, bersamaan dengan ini, harga minyak dunia merosot tajam. Hingga kini, harga minyak dunia masih rendah.

Rendahnya harga minyak dunia menjadi salah satu tantangan dalam mewujudkan APBN ideal. Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menjelaskan, kendati pemerintah Joko Widodo telah melakukan reformasi subsidi energi, namun harga minyak yang turun berpengaruh signifikan terhadap ruang fiskal.

“Betul subsidi sudah ada reformasi, sudah tidak membebani anggaran. Tetapi harga minyak masih rendah, selain akan berpengaruh terhadap bagi hasil ke daerah, itu akan terasa juga di pusat. Tahun 2015 ini saja kita kehilangan Rp 150 triliun dari penurunan harga minyak dan juga produksi,” kata Bambang, Kamis (30/4).

Bambang memberikan analisisnya, harga minyak dunia belum akan membaik bahkan hingga 2016 nanti. Kondisi ini, tentu akan memukul ruang fiskal dan penerimaan negara akan terbatas, sama halnya dengan ruang fiskal.

Bambang mengatakan, selain dari penurunan harga minyak, tantangan menuju APBN ideal adalah adanya mandatory spending, diantaranya adalah anggaran pendidikan (20 persen), anggaran kesehatan (5 persen), transfer ke daerah (26,5 persen dari penerimaan netto), serta pembayaran bunga utang.

“Beberapa subsidi yang masih ada, seperti subsidi listrik, pupuk, raskin, LPG 3 kg, itu harus dilakukan. Terus yang baru kita luncurkan dana desa 10 persen dari dana perimbangan. Itu adalah mandatory spending yang sudah harus ada dalam APBN,” ujar Bambang.

Dia bilang, jika mandatory spending makin besar, artinya ruang fiskal menjadi makin sempit. Untuk memperlebar ruang fiskal ini, Bambang menyebut penerimaan negara harus ditingkatkan.

“Dan penerimaan yang paling mungkin dapat ditingkatkan hanya satu, penerimaan pajak. Karena penerimaan dari SDA untuk hari-hari ini tidak akan bagus prospeknya karena harganya rendah semua, dari minyak sampai hasil tambang,” lanjut dia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement