EKBIS.CO, BEIJING -- Indonesia, bersama 56 negara pendiri Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) pimpinan Cina, menandatangani pasal-pasal mengenai asosiasi pendirian lembaga baru itu, di Balai Agung Rakyat, Beijing, Senin (29/6). Penandatanganan dilakukan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.
Pada kesempatan terpisah, Bambang mengatakan, pemerintah Indonesia telah menyiapkan dana Rp 3 triliun untuk memantapkan keikutsertaan dalam AIIB. Ia menambahkan, selain mengalokasikan dana keikutsertaan di APBN, Indonesia juga siap mengajak beberapa negara lain masuk ke sistem ini agar memiliki posisi tawar "voting rights" dalam lembaga multilateral yang telah diikuti 57 negara ini.
"Kita mengajak tiga atau empat negara, tapi mayoritas ASEAN. Kecuali ASEAN ada Maladewa juga," ujarnya.
AIIB dibentuk di Beijing untuk mendukung konektivitas, integrasi, peningkatan ekonomi menyeluruh serta daya saing Asia, juga untuk menutup kesenjangan dalam pembiayaan infrastruktur yang belum dipenuhi bank pembangunan multilateral lain.
Indonesia menganggap penting AIIB karena bermanfaat untuk mengakselerasi pembangunan sektor infrastruktur dalam negeri yang mencakup energi, transportasi, telekomunikasi, pembangunan pertanian dan infrastruktur pedesaan, sanitasi dan air bersih, perlindungan lingkungan, logistik dan sektor produktif lain.
Australia menjadi negara pertama yang menandatangani dokumen di Balai Besar Rakyat di Beijing itu. Bank yang menjadi saingan Bank Dunia itu akan memiliki dana miliaran dolar AS untuk dipinjamkan kepada negara anggota dan diperkirakan segera beropersi tahun ini.
Bank tersebut dianggap berfungsi sama dengan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia sokongan AS dan Jepang yang menolak bergabung dengan AIIB.
Kantor Berita AFP menulis Washington bahkan berusaha membujuk sekutu-sekutunya untuk tidak bergabung, namun negara-negara Eropa termasuk Inggris, Prancis dan Jerman malah ikut menandatangani pendirian AIIB karena mereka berusaha memperkuat hubungan dengan Cina yang menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia.
Cina memiliki hak istimewa karena menjadi pemegang saham terbesar sehingga memiliki kekuatan veto dalam bank regional baru itu, tulis Wall Street Journal awal bulan ini. Menurut dokumennya, Cina menyediakan hampir 30 miliar dolar AS dari total 100 miliar dolar AS untuk bank baru ini, sehingga memiliki 25 sampai 30 persen suara.
Para pendukung bank ini, dari Australia sampai Vietnam, menepis kekhawatiran pengaruh Tiongkok yang disebut mereka dibesar-besaran.