Selasa 30 Jun 2015 20:47 WIB

Pertumbuhan Ekonomi Semester II Diperkirakan di Bawah 5 Persen

Rep: C87/ Red: Djibril Muhammad
ilustrasi
Foto: AP Photo/Andy Wong/ca
ilustrasi

EKBIS.CO, JAKARTA -- Pertumbuhan ekonomi Indonesia di semester II-2015 diperkirakan berada di bawah 5 persen. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2015 di level 4,71 persen.

Direktur Global Market HSBC Ali Setiawan mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di semester II tidak akan banyak perubahan dari semester I. Meskipun pemerintah optimistis ekonomi akan tumbuh kuat, HSBC belum melihat di semester II akan ada perubahan sangat besar.

Ali menjelaskan beberapa indikator seperti pertumbuhan sektor industri masih dalam keadaan melemah, harga komoditas belum terlalu bergerak dan konsumsi masyarakat yang juga masih lemah.

Bahkan dia menilai kenyataannya tidak sesuai dengan yang yang dikatakan Pemerintah pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa 5 persen, secara ekonomi aktivitasnya slowing down.

 

Selain itu, pertumbuhan industri otomotif juga melambat. Penurunan penjualan kendaraan roda dua mencapai 23 persen, sedangkan roda empat turun sebesar 18 persen. Dan mendekati libur lebaran penjualannya belum naik.

"Kita belum lihat di semester II pertumbuhan bisa naik secara drastis," ujar Ali dalam diskusi bersama media di Jakarta, Selasa (30/6). Sementara itu, permintaan ekspor komoditas dari Cina dan India masih lemah.

Di sisi lain, nilai tukar rupiah terus mengalamni depresiasi terhadap dolar AS. Menurut Ali, depresiasi rupiah bisa membantu mengurangi tekanan impor, dan diharapkan membantu sisi ekspor. Namun, sampai saat ini belum bisa diliat hasilnya. Sebab, ekspor yang diandalkan yakni komoditas secara demand belum pick up terlalu banyak.

Dari sisi eksternal, kondisi Eropa khususnya Yunani yang diperkirakan akan keluar dari Eropa jika tidak ada negosiasi. Dampaknya secara ekonomi tidak begitu signifikan karena perdagangan Indonesia dan Yunani rendah. Namun, secara pasar modal akan berdampak karena yang membeli saham Indonesia dari Eropa cukup banyak.

Jika Yunani keluar dari Eropa, akan menekan pasar keuangan di Eropa. Dampaknya, kemungkinan negara-negara Eropa akan menarik portofolio dari negara berkembang termasuk Indonesia.

"Kalau hasil voting referendum tidak, selamat tinggal Yunani. Kita akan melihat volatilitas yang lumayan di pasar," imbuhnya.

Ali menambahkan, dampak kondisi Yunani terhadap rupiah akan tergantung seberapa banyak intervensi dari Bank Indonesia. Dia menilai saat ini BI sudah sangat cukup proteksi terhadap rupiah, khususnya Mei saat pembayaran deviden banyak.

Hal itu juga menjadi salah satu faktor turunnya cadangan devisa menjadi 110,8 miliar dolar AS pada akhir Mei dibandingkan posisi akhir April sebesar 110,9 miliar dolar AS.

Upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui insentif fiskal, juga dinilai belum berdampak. Misalnya insentif pajak secara utilitas dinilai belum banyak yang menikmati.

Demikian juga kebijakan moneter seperti pelonggaran rasio kredit terhadap nilai agunan (loan to value/ LTV). Dia juga mempertanyakan apakah orang akan berbondong-bondong pinjam uang.

Dampak LTV diperkirakan tidak akan langsung dalam beberapa bulan. Sebab, perbankan juga lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit dalam kondisi ekonomi saat ini.

"Pertumbuhan ekonomi cenderung mendekati 5 persen, tapi saya proyeksikan masih ada di bawah 5 persen," kata Ali.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement